Tabi’in Terbaik Uwais Al-Qoroni (Bag 2)

3 Keutamaan Ikhlas dan menyembunyikan amalan-amalan sholeh.

Perkara-perkara yang menunjukan keikhlasan Uwais dan jauhnya beliau dari cinta kepada ketenaran.
1. Tatkala Umar berkata kepadanya, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, makapun ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

2. Perkataan Uwais kepada Umar, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.”. Hal ini menunjukan bahwa beliau meskipun terkabulkan do’anya oleh Allah namun beliau tidak pernah menceritakan hal ini kepada orang lain, karena hal ini bisa menimbulkan kesan kepada orang yang mendengar bahwa beliau adalah orang yang mulia yang doanya didengar oleh Allah. Meskipun menceritakan kenikmatan yang Allah berikan kepada seseorang disyari’atkan akan tetapi sebagian orang tidak ikhlas tatkala menceritakan kenikmatan-kenikmatan yang Allah karuniakan kepadanya yaitu niatnya dalam rangka agar para pendengar menganggapnya adalah orang yang hebat, yang spesial sehingga diberi kenikmatan oleh Allah.

1. Perkataan beliau kepada orang yang memintanya untuk berdoa baginya, “Janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu”

2. Sikap beliau yang mengasingkan diri tatkala orang-orang mengetahuinya merupakan orang yang terkabulkan do’anya.

3. Keadaan beliau yang menjadi bahan olok-olokan oleh kaumnya. An-Nawawi berkata, “Hal ini (yaitu keadaan Uwais yang menjadi bahan olokan kaumnya) menunjukan bahwasanya beliau menyembunyikan ibadahnya (hubungan antara ia dan Robnya), dan ia sama sekali tidak menampakkannya walau sedikitpun. Ini merupakan jalan orang-orang yang mengenal Robb mereka dan para wali Allah[14]

Manusia begitu bersemangat untuk menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil apapun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mendapatkan kehormatan dimata manusia. Dengan terungkapnya kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia. Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, -sekecil apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapapun orangnya (saudaranya, sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan istrinya) tidak ada yang mengetahui kebaikannya- , tentunya mereka akan mencapai martabat mukhlisin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah.

Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar :
اُكْتُمْ مِنْ حَسَنَاتِكَ, كَمَا تَكْتُمُ مِنْ سَيِّئَاتِكَ
“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.”[15]

Dalam riwayat yang lain[16] beliau berkata:

أَخْفِ حَسَنَتَكَ كَمَا تُخْفِي سَيِّئَتَكَ, وَلاَ تَكُنَنَّ مُعْجَبًا بِعَمَلِكَ, فَلاَ تَدْرِي أَشَقِيٌّ أَنْتَ أَمْ سَعِيْدٌ

“Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga).”

Berkata Syaikh Abdul Malik, "Namun mengapa kita tidak melaksanakan wasiat Abu Hazim ini?? Kenapa??, hal ini menunjukan bahwa keikhlasan belum sampai ke dalam hati kita sebagaimana yang dikehendaki Allah"[17]

Oleh karena itu banyak para imam salaf yang benci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keihlasan mereka, dan karena mereka kawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.

Berkata Hammad bin Zaid: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub (As-Sikhtyani), maka diapun membawaku ke jalan-jalan cabang (selain jalan umum yang sering dilewati manusia-pen), saya heran kok dia bisa tahu jalan-jalan cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati jalan-jalan kecil yang tidak dilewati orang banyak) karena takut manusia (mengenalnya dan) mengatakan : “Ini Ayyub”[18]

Berkata Imam Ahmad: “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”[19]

Tatkala sampai berita kepada Imam Ahmad bahwasanya manusia mendoakannya dia berkata: “Aku berharap semoga hal ini bukanlah istidroj”[20]

Imam Ahmad juga pernah berkata tatkala tahu bahwa manusia mendoakan beliau: “Aku mohon kepada Allah agar tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang riya’”[21]

Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang muridnya (yang bernama Abu Bakar) tatkala sampai kepadanya kabar bahwa manusia memujinya: “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia”[22]

Berkata Hammad: “Pernah Ayyub membawaku ke jalan yang lebih jauh, maka akupun perkata padanya: “Jalan yang ini yang lebih dekat”, maka Ayyub menjawab:”Saya menghindari majelis-majelis manusia (menghindari keramaian manusia-pen)”. Dan Ayyub jika memberi salam kepada manusia, mereka menjawab salamnya lebih dari kalau mereka menjawab salam selain Ayyub. Maka Ayyub berkata :”Ya Allah sesungguhnnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini !, Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini!.”[23]

Berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr: “Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama manusia untuk sholat istisqo (sholat untuk minta hujan), namun hujan tak kunjung datang, dan mereka tidak melihat adanya awan. Maka beliau berkata :”Dimana Yazid bin Al-Aswad?” (Dalam riwayat yang lain: Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata :”Dimana Yazid bin Al-Aswad?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar perkataanku ini hendaknya dia berdiri”), maka berkata Yazid :”Saya di sini!”, berkata Ad-Dlohhak :”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan bagi kami!”. 

Maka Yazid pun berdiri dan menundukan kepalanya diantara dua bahunya, dan menyingsingkan lengan banjunya lalu berdoa :” Ya Allah, sesungguhnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”. Lalu tidaklah dia berdoa kecuali tiga kali kecuali langsung turunlah hujan yang deras sekali, hingga hampir saja mereka tenggelam karenanya. Kemudian dia berkata :”Ya Allah, sesungguhnya hal ini telah membuatku menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran ini”, dan tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal.”[24]

Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana Yazid Al-Aswad merasa tidak tentram dengan ketenarannya bahkan dia meminta kepada Allah agar mencabut nyawanya agar terhindar dari ketenarannya. Ketenaran di mata Yazid adalah sebuah penyakit yang berbahaya, yang dia harus menghindarinya walaupun dengan meninggalkan dunia ini. Allahu Akbar..inilah akhlak salaf[25]. Namun banyak orang yang terbalik…mereka malah menjadikan ketenaran merupakan kenikmatan yang sungguh nikmat sehingga mereka berusaha untuk meraihnya dengan berbagai macam cara.

Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali, beliau berkata :”Ali bin Husain memikul sekarung roti diatas pundaknya pada malam hari untuk dia sedekahkan, dan dia berkata :
إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ
”Sesungguhnya sedekah dengan tersembunyi memadamkan kemarahan Allah”[26]

Dan dari ‘Amr bin Tsabit berkata :”Tatkala Ali bin Husain meninggal mereka memandikan mayatnya lalu mereka melihat bekas hitam pada pundaknya, lalu mereka bertanya :”Apa ini”, lalu dijawab :”Beliau selalu memikul berkarung-karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepada faqir miskin yang ada di Madinah”

Berkata Ibnu ‘Aisyah :”Ayahku berkata kepadaku :”Saya mendengar penduduk Madinah berkata :”Kami tidak pernah kehilangan sedekah yang tersembunyi hingga meninggalnya Ali bin Husain””[27]

Lihatlah bagaimana Ali bin Husain menyembunyikan amalannya hingga penduduk madinah tidak ada yang tahu, mereka baru tahu tatkala beliau meninggal karena sedekah yang biasanya mereka terima di malam hari berhenti, dan mereka juga menemukan tanda hitam di pundak beliau.

Seseorang bertanya pada Tamim Ad-Dari :”Bagaimana sholat malam engkau”, maka marahlah Tamim, sangat marah, kemudian berkata :

وَاللهِ لَرَكْعَةٌ أُصَلِّيهَا فِي جَوْفِ اللَّيْلِ فِي السِّرِّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُصَلِّي اللَّيْلَ كُلَّهَا ثُمَّ أَقُصُّهُ عَلَى النَّاسِ

“Demi Allah, satu rakaat saja sholatku ditengah malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada aku solat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada manusia”[28]

Tidak seorangpun diantara kita yang meragukan akan kesungguhan para sahabat dalam beribadah. Namun walaupun demikian, mereka tidaklah ujub, atau memamerkan amalan mereka kapada manusia, jauh sekali dengan kita. Adapun sebagian kita (atau sebagian besar, atau seluruhhnya (kecuali yang dirahmati oleh Allah)?? …., Allahu Al-Musta’an, sudah amalannya sedikit, namun diceritakan kemana-mana (Bahkan kalau bisa orang sedunia mengetahuinya). Ada yang berkata :”Dakwah saya disana…, disini…”, ada juga yang berkata:”Yang menghadiri majelis saya jumlahnya sekian dan sekian..” (padahal kalau dihitung belum tentu sebanyak yang disebutkan, atau memang benar yang hadir majelisnya banyak tetapi tidak selalu. Terkadang yang hadir dalam sebagian majelisnya cuma sedikit, namun tidak dia ceritakan. Atau yang hadir banyak tapi pada ngantuk semua, juga tidak dia ceritakan. 

Pokoknya dia ingin gambarkan pada manusia bahwa dia adalah da’i favorit), ada yang berkata: “Saya sudah baca kitab ini, kitab itu.. hal ini sebagaimana termuat dalam kitab ini atau kitab itu…”(padahal belum tentu satu kitabpun dia baca dari awal hingga akhir, atau bahkan belum tentu dia baca sama sekali secara langsung kitab itu. Namun dia ingin gambarkan pada manusia bahwa mutola’ahnya banyak, agar mereka tahu bahwa dia adalah orang yang berilmu dan gemar membaca). Yang mendorong ini semua adalah karena keinginan mendapat penghargaan dan penghormatan dari manusia. Lihatlah….Tamim Ad-Dari tidak membuka pintu yang bisa mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga dia tidak mau menjawab orang yang bertanya tentang ibadahnya. Namun sebaliknya, sebagian kaum muslimin sekarang justru menjadikan kesempatan pertanyaan seperti itu untuk bisa menceritakan seluruh ibadahnya, bahkan menanti-nanti untuk ditanya tentang ibadahnya, atau dakwahnya, atau….

6. Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan akan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua”[29]

Uwais di sisi Allah memiliki kedudukan yang tinggi dan hal yang menyebabkan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya tersebut. Sikapnya yang berbakti kepada ibunya menjadikannya seorang yang dikabulkan doanya. Nabi tidak menyebutkan amalan lain yang dilakukan oleh Uwais kecuali bahwasanya ia berbakti kepada ibunya. Hal ini menunjukan sikapnya yang berbakti kepada ibunya merupakan salah satu sebab utama yang menjadikannya menjadi tabi’in yang terbaik. Wallahu A’lam.

7. Tidak berarti seorang yang berilmu pasti lebih mulia di sisi Allah daripada orang yang kurang berilmu. Terkadang manusia tertipu, tatkala ia telah memiliki ilmu syar’i maka dia memandang bahwa dirinya lebih mulia di sisi Allah daripada orang lain yang tidak memiliki ilmu setinggi ilmunya. Dia lupa bahwasanya jalan-jalan untuk memperoleh kedudukan mulia di sisi Allah bukan hanya ilmu. Bisa jadi seseorang memang kurang memiliki ilmu akan tetapi ia meraih kedudukan yang tinggi di sisi Allah dengan amalan-amalan ibadah yang lain. Bisa jadi orang tersebut lebih baik daripada dia dalam ibadah-ibadah hati. Sebagaimana Uwais Al-Qoroni beliau bukanlah seorang tabi’in yang masyhur dengan ilmu sebagaimana Ibnul Musayyib, akan tetapi lihatlah… baktinya kepada ibunya serta keikhlasannya yang luar biasa dengan menyembunyikan amalan-amalan shalehnya serta benci akan popularitas menjadikan beliau adalah tabi’in yang paling afdhol di sisi Allah. Wallahu A’lam.

Oleh karena itu seseorang yang telah berilmu atau bisa beribadah dengan baik janganlah sampai tertipu dan kagum terhadap dirinya lalu memandang bahwa dirinya lebih afdol dan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dari pada orang lain yang kurang berilmu. Ini merupakan salah satu bentuk zuhud yang diperintahkan oleh Nabi untuk diamalkan.

Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata, “Dikatakan kepada Al-Hasan (Al-Bashri) atau yang lainnya, “Siapakah orang yang zuhud?”. Maka beliau berkata, هُوَ الَّذِي إِذَا رَأَى غَيْرَهُ ظَنَّ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنْهُ “Dia adalah orang yang melihat orang lain dan menyangka orang tersebut lebih baik daripada dirinya”. Ini merupakan makna yang agung yang dikembangkan oleh Al-Hasan dimana dia berkata, “Orang yang zuhud adalah yang menyatakan orang lain lebih mulia daripada dirinya”. Yaitu jika ia melihat seseorang dari kaum muslimin maka ia memandang orang tersebut lebih mulia daripada dirinya –yaitu di sisi Allah-. Dan hal ini berarti (hatinya) tidak terikat dengan dunia, ia memandang rendah dirinya di sisi Allah, ia tidak merasa tinggi dihadapan orang-orang. Hal ini hanya bisa timbul pada orang yang diberikan karunia oleh Allah lalu memenuhi hatinya dengan harapan terhadap akhirat serta jauh dari keterikatan dengan dunia…”[30]

8. Hendaknya seseorang selalu berusaha mengingat-ngingat nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Lihatlah Uwais tatkala berdoa kepada Allah untuk menyembuhkan penyakitnya ia berkata, “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”. Betapa banyak orang yang hanya bisa merasakan kenikmatan yang Allah berikan kepadanya tatkala ia kehilangan kenikmatan tersebut. Terkadang kita lupa akan kenikmatan kesehatan yang Allah berikan kepada kita dan kita hanya bisa benar-benar merasakannya tatkala kita sakit. Tidaklah benar-benar merasakan besar nikmat mata dan telinga kecuali orang yang tadinya melihat dan mendengar kemudian menjadi buta dan tuli.

Sebagian orang tatkala dalam keadaan miskin berdoa kepada Allah agar diberi rizqi dengan berjanji seandainya Allah melapangkan rizkinya maka ia akan banyak bersedekah. Namun tatkala Allah melampangkan rizkinya maka iapun lupa dengan nikmat Allah. Allah berfirman:

(وَمِنْهُم مَّنْ عَاهَدَ اللّهَ لَئِنْ آتَانَا مِن فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ) (التوبة : 75 )

Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah:"Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh". (QS. 9:75)
(فَلَمَّا آتَاهُم مِّن فَضْلِهِ بَخِلُواْ بِهِ وَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعْرِضُونَ) (التوبة : 76 )

Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). (QS. 9:76)

Sebagian orang berkata, “Saya ingin sibuk mengumpulkan uang dahulu, jika uang saya telah banyak maka saya akan tinggal dekat pondok pesantren atau akan rajin ikut pengajian”. Namun tatkala ia telah mengumpulkan banyak uang maka iapun tenggelam dengan dunia. Wallahul Must’aan.

Catatan Kaki
[14] Al-Minhaj XVI/94
[15] Berkata Syaikh Abdul Malik Romadloni : “Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam “Al-Ma’rifah wa At-    Tarikh” (1/679), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh Dimasq (22/68), dan sanadnya sohih”.(Sittu Duror hal 45)
[16] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no 6500
[17] Dari ceramah beliau yang berjuduk ikhlas
[18] Berkata Syaikh Abdul Malik Romadloni: “Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (7/249), dan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/232), dan sanadnya shahih.” (Sittu Duror hal 46)
[19] As-Siyar (11/210)
[20] As-Siyar (11/211)
[21] As-Siyar (11/211)
[22] As-Siyar (11/211)
[23] Berkata Syaikh Abdul Malik :”Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d (7/248) dan Al-Fasawi (2/239), dan sanadnya shahih” (Sittu Duror hal 47)
[24] Lihat takhrij kisah ini secara terperinci dalam buku Sittu Duror karya Syaikh Abdul Malik Romadloni hal 47.
[25] Berkata Guru kami Syaikh Abdulqoyyum, "Adapun orang-orang yang memerintahkan para pengikutnya atau rela para pengikutnya mencium tangannya lalu ia berkata bahwa ia adalah wali Allah maka ia adalah dajjal"
[26] Ini merupakan hadits yang marfu’ dari Nabi, yang diriwayatkan dari banyak sahabat, seperti Abdullah bin Ja’far, Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu “Abbas, Ibnu Ma’ud, Ummu Salamah, Abu Umamah, Mu’awiyah bin Haidah, dan Anas bin Malik. Berkata Syaikh Al-Albani :”Kesimpulannya hadits ini dengan jalannya yang banyak serta syawahidnya adalah hadits yang shahih, tidak diragukan lagi. Bahkan termasuk hadits mutawatir menurut sebagian ahli hadits muta’akhirin” (As-Shohihah 4/539, hadits no 1908)
[27] Lihat ketiga atsar tersebut dalam Sifatus Sofwah (2/96) (Aina Nahnu hal 9)
[28] Dinukil dari kitab Az- Zuhud, Imam Ahmad
[29] Al-Minhaj 16/96
[30] Dari syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah hadits yang ke 31

Taken From firanda.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layu Sebelum Berkembang

Imam Malik Bin Anas

SEBANYAK 12 MALAIKAT BEREBUT MENCATAT KEBAIKAN KITA