Langsung ke konten utama

HUKUM SHALAT GHAIB UNTUK JENAZAH PASIEN CORONA

Hukum Shalat Ghaib untuk Jenazah Pasien Corona

Ustadz … mohon pencerahan.  Akhir-akhir ini banyak teman yang meninggal dunia, tetapi karena situasi yang tidak memungkinkan, saya tidak melayat.  Dalam situasi seperti sekarang apakah ada tuntunan untuk menyolatkan ghoib dari rumah masing-masing ?. Matur nuwon.

Jawaban :

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Sholat ghaib adalah amalan yang disyariatkan berdasarkan hadis shahih yang tertulis dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, tentang kisah Nabi  menshalati jenazah raja Najasi yang berada di negeri Nasrani.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

Bahwa Rasulullah ﷺ mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali.” (HR. Bukhari no. 1337)

Kemudian, keberlakuan hadis tersebut umum, tidak hanya khusus untuk Nabi, namun untuk semua umat Muhammad . Sebagaimana kesimpulan fikih ini dipegang oleh mayoritas ahli fikih (jumhur). Berbeda dengan pendapat yang dipilih oleh Mazhab Hanafi dan Maliki.

Yang menjadi diskusi di kalangan mayoritas ahli fikih adalah, tentang kriteria jenazah yang boleh dishalatkan ghaib :

[1] Shalat ghaib berlaku untuk semua jenazah yang tidak hadir di tengah-tengah kita (ghaib). Pendapat ini dipegang oleh para ulama mazhab Syafi’i dan Hambali.

[2] Shalat ghaib hanya untuk orang yang telah berjasa banyak kepada kaum muslimin. Seperti ulama, mujahid, tokoh, pemimpin, atau orang kaya yang harta banyak didermakan untuk Islam. Pendapat ini adalah salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad, dan dinilai kuat oleh Syekh Abdurrahman As-Sa’di dan Lajnah Da-imah KSA.

[3] Shalat ghaib hanya diperuntukkan untuk jenazah muslim yang tidak ada seorangpun yang menshalatkan. Salah satu riwayat dari Imam Ahmad menisbatkan pendapat ini kepada beliau. Dipandang kuat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah serta murid beliau; Ibnul Qayyim. Ulama akhir ini yang condong pada pendapat ini adalah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. (https://islamqa.info/amp/ar/answers/35853)

Dari tiga pendapat di atas, yang paling kuat (rajih) adalah pendapat ketiga. Alasannya adalah sebagai berikut :

Pertama, hukum asal syariat ini berlaku umum untuk Rasulullah dan seluruh umatnya, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan pengkhususan atau pengecualian.

Dalam hal shalat ghaib, tak ada satupun hadits shahih dan tegas yang menerangkan shalat ini hanya berlaku khusus untuk Nabi .

Hal ini berdasarkan keterangan dari Imam Nawawi berikut,

مذهبنا جواز الصلاة على الغائب عن البلد ، ومنعها أبو حنيفة . دليلنا حديث النجاشي وهو صحيح لا مطعن فيه وليس لهم عنه جواب صحيح

Mazhab fikih kami berpandangan shalat ghaib disyariatkan untuk jenazah yang tidak hadir di tempat kita. Imam Abu Hanifah melarang shalat ghaib. Dalil kami adalah hadis tentang kisah raja Najasi. Hadits ini statusnya shahih, tidak ada kecacatan. Dan mereka yang berpendapat shalat ghaib berlaku untuk Nabi saja, tidak memiliki sanggahan yang benar. (Lihat : Al-Majmu’ 5/211, dikutip dari Islamqa)

Kedua, di zaman Nabi  banyak sahabat Nabi yang meninggal dunia. Namun tak ada riwayat yang menerangkan bahwa Nabi menshalati mereka yang meninggal tidak di Madinah, dengan shalat ghaib. Satu-satunya hadis shahih yang mengisahkan shalat ghaib Nabi adalah hadis shalat ghaib beliau untuk tentang Raja Najasi. Kondisi Raja Najasi ketika itu, tak ada satupun orang yang mensholati jenazah beliau. Karena meninggal di negeri Nasrani.

Ketiga, hukum sholat jenazah adalah fardhu kifayah. Maka bila telah ada yang mensholatkan, walau hanya satu orang, kewajiban ini telah gugur.

Berdasarkan kesimpulan ini, maka terkait mensholati jenazah korban virus corona, boleh kita shalati ghaib apabila : belum ada yang menshalati.

Mungkin karena khawatir tertular virus.

Sehingga bila sudah ada yang mensholati, tidak perlu lagi dilakukan shalat ghaib. Penilaian ini cukup berdasarkan praduga kuat (dzan).

Adapun bila telah ada kabar, bahwa mayit sudah disholati, walau oleh seorang petugas medis, maka tidak perlu perlu lagi dilakukan shalat ghaib.

Demikian.

Wallahua’lam bish showab.

******

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur'an Yogyakarta) 

konsultasisyariah.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layu Sebelum Berkembang

Imam Malik Bin Anas

SEBANYAK 12 MALAIKAT BEREBUT MENCATAT KEBAIKAN KITA