Menyikapi Umat Islam Yang Tertindas (Bagian 1)


Kita telah menyaksikan, sebagian negara yang penduduknya mayoritas umat Islam telah dijajah oleh kaum kuffar, negara dan penduduknya berantakan, disana-sini dibantai oleh orang Yahudi dan Nasrani. Begitulah yang terjadi di Negeri Palestina. Sudah puluhan tahun mereka dijajah oleh bangsa Yahudi laknatullahu ‘alaihi. Negara Afganistan, Bosnia, Irak dan negara timur lainnya, yang sebelumnya menjadi hidangan orang Sovyet, lalu dilanjutkan oleh orang Amerika.

Peristiwa yang sama, sebelumnya juga melanda kaum Muslimin di Philipina dan sebagian pulau di Indonesia. Musibah beruntun yang menyedihkan ini, tidak lain karena ulah umat Islam sendiri, yang tidak mau berpegang teguh dengan dinul Islam yang kokoh, sebagaimana Allah telah menerangkan dalam surat Hud : 117 dan Al Isra` : 16.

وَمَاكَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ

"Dan Rabb-mu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan". [Hud :117]

وَإِذَآ أَرَدْنَآ أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا

"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (suatu mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya". [Al Isra` : 16].

Melihat situasai yang seperti ini, sebagian kelompok yang menamakan dirinya mujahid versi baru, memunculkan gagasan baru untuk melampiaskan apa yang menjadi keinginannya dengan membuat berbagai doktrin dan melakukan berbagai macam tindakan, diantaranya:

1. Jihad yang berarti perang melawan orang kafir pada zaman sekarang hukumnya fardlu 'ain untuk seluruh dunia, tidak perlu izin orang tua ataupun Amirul Mukminin.

2. Mereka menilai, negara-negara di dunia pada zaman sekarang ini masih merupakan daulah kuffar, belum ada Daulah Islamiyah; karena itu, wajib berperang untuk menegakkan Daulah Islamiyah.

3. Mengkafirkan pemimpin secara mutlak yang tidak menerapkan hukum Islam, dan mengajak umat harus keluar dari pemimpin yang zhalim.

4. Menghina dan melecehkan para ulama salaf yang tidak ikut melancarkan peperangan seperti yang mereka kehendaki. Mereka menyebut ulama Salaf
dengan julukan ulama duduk, ulama haid dan nifas, dan tukang buruh pemerintah thaghut. Naudzu billahi min dzalik.

5. Melihat saudaranya yang dibantai, mereka meluapkan kemarahan dengan melakukan peledakan, merusak kantor dan bangunan milik orang kafir, membakar gereja; bahkan semboyan yang mereka gaungkan, bahwa "membunuh orang Amerika adalah tanda keimanan dan tauhid". Mereka juga melakukan berbagai unjuk rasa di kantor dubes dan lainnya.

6. Mengangkat imam sementara yang dianggap mampu menyelesaikan sengketa umat untuk menjadi khalifah pada masa depan.

7. Menjauhkan umat dari pemahaman Salaf, karena ulama Salaf tidak mendukung keinginan mereka.

8. Mereka meremehkan da'wah tauhid ; mereka pusatkan tauhid hakimiyah, mengajak umat untuk mendirikan Daulah Islamiyah.

Itulah impian mereka, yang jika kita amati, pemikiran tersebut tidak lepas dari fikrah Khawarij, sebagaimana yang disimpulkan oleh Syaikh Shalih Fauzan; bahwa prinsip Khawarij ada tiga. Pertama, mengkafirkan orang Islam. Kedua, tidak taat kepada waliyul ‘amri. Ketiga, menghalalkan darah kaum muslimin. Oleh karena itu, siapapun yang mempunyai keyakinan seperti ini dinamakan Khawarij, walaupun ia tidak mengatakan dan tidak mengamalkan. Lihat Al Ijabah Al Muhimmah Fil Masyakilil Mulimmah, Shalih Fauzan Ali Fauzan, hlm. 9.

Mereka ingin mendorong kaum Muslimin agar tidak taat kepada waliyul amri. Mereka membuat opini-opini terlebih dahulu, bahwa negara yang sedang mereka tempati adalah negara kafir dengan membuat definisi yang seakan ilmiah, meskipun dengan mencatut perkataan para ulama secara sepenggal-sepenggal.

Dalam menyikapi keberadaan ummat Islam yang tertindas, ulama Salaf memiliki penyikapan yang berbeda dengan fikrah mereka. Ulama Salaf tetap melancarkan jihad, namun sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Al Qur`an dan Sunnah, serta sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah. Antara lain:

Pertama : Bagi Yang Diserang Oleh Musuh, Maka Hukum Jihad Bagi Mereka Menjadi Fardhu ‘Ain.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, "Jika musuh hendak menyerang kaum Muslimin, maka wajib atas seluruh kaum Muslimin yang menjadi target serangan untuk melawan. Dan wajib atas kaum Muslimin lainnya untuk menolong kaum Muslimin yang diserang." [Lihat Majmu' Fatawa, XIV/464].
.
Jadi, ketika daerah kaum Muslimin diserang, maka hukum jihad bagi penduduk yang diserang menjadi fardhu 'ain, kecuali orang yang memiliki udzur. Dan termasuk jihad yang fardhu 'ain pula, jika seseorang atau suatu kaum diperintahkan oleh Amirul Mukminin, sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah ayat 38 dan hadist Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi :

وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا

"Jika kamu diperintah keluar untuk jihad, maka keluarlah untuk berjihad". [HR Bukhari, no. 2848, bersumber dari Ibn Abbas Radhiyallahu 'anhu].

Dalil di atas menunjukkan, bahwa jihad melawan orang kafir bukan fardlu 'ain, kecuali dalam kondisikondisi tertentu. Penyusun kitab Al Mughni menyebutkan, bahwasanya jihad menjadi fardlu 'ain dalam tiga keadaan, yaitu: Pertama. Ketika dua pasukan sedang bertempur, maka diharamkan bagi orang yang sedang berada dalam medan tempur untuk melarikan diri. Kedua. Ketika musuh menyerang suatu negara. Ketiga. Ketika diperintahkan oleh imam.

Ini juga sebagai bantahan kepada mujahid hizbi yang mengatakan bahwa jihad pada zaman sekarang adalah fardhu 'ain untuk semua negara, dan kaum muslimin tidak perlu izin orang tua, suami ataupun waliyul 'amri sebagaimana pendapat Dr. Abdullah Azzam dalam bukunya yang berjudul Untukmu Umat Islam, diterjemahkan oleh Abu Ayyob Al Anshori, hlm. 36-40. Untuk bantahannya, silahkan membaca Majalah Al Furqon, Edisi 9 Th IV, hlm. 12-16.

Pendapat serupa juga terdapat dalam buku Komando Al Qaidah Atas Perang Salib yang disembunyikan alamat penerbitnya, yang isinya, secara garis besar menjelaskan adanya prinsip yang menghalalkan darah semua orang kafir dengan semboyannya "membunuh orang Amerika adalah inti keamanan dan tauhid". Untuk bantahannya, silahkan membaca Majalah Al Furqon edisi yang sama, hlm. 18-19.

Kedua : Sikap Umat Islam Yang Tinggal Di Negeri Yang Aman.
Mengenai umat Islam yang tinggal di negeri yang aman ketika melihat umat Islam di negara lain dibantai oleh musuh, hendaknya memperhatikan beberapa perkara di bawah ini:

1. Berjiahad (Dalam Arti Perang) Melawan Orang Kafir Di Negeri Kaum Muslimin Lainnya Bisa Dilakukan, Bila Terpenuhi Syaratnya. Karena Termasuk Yang Hukumnya Fardhu Kifayah.
Bagi yang berperang harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya : Mendapat izin dari waliyul ‘amr, orang tua dan memiliki fisik yang kuat.

Dalil yang menunjukkan harus ada izin dari waliyul ‘amr, ialah sebagaimana tercantum di dalam Surat At Taubah ayat 28-29 dan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari di atas.

Sedangkan dalil yang menunjukkan harus mendapatkan izin orang tua, yaitu riwayat dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia minta izin untuk ikut berjihad. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya :

أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ

“Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Dia menjawab,”Ya (masih hidup),” lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Berjihadlah (dengan berbuat baik) Kepada keduanya". [HR Ibn Hibban dalam Shahih-nya].

Menuurt Ibnu Quddamah : “Jihad harus ada izin dari orang tua, karena berbuat baik kepada kedua orang tua hukumnya fardhu ‘ain, sedangkan jihad harbi (thalab) hukumnya fardhu kifayah. Dan fardhhu 'ain harus didahulukan daripada fardhu kifayah". Lihat Al Mughni (9/170).

Adapun persyaratan harus kuat, Syaikh Shalih Fauzan berkata: ”Di antara syarat berjihad, hendaknya orang Islam memiliki kekuatan mampu melawan orang kafir, mereka benar-benar kuat dan mempunyai fasilitas yang siap untuk menyerang. Jika mempunyai fasilitas, tetapi tidak mempunyai kekuatan, maka tidak wajib. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat berada di Mekkah sebelum hijrah, tidak disyariatkan berjihad dengan pedang, karena mereka belum mampu”. Lihat kitab Al Fatawa Asy Syar’iah Fil Qadhaya Al Ashriyah, hlm. 162.

2. Umat Islam Wajib Membantu Saudaranya Dengan Segala Macam Bantuan.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka wajib atas seluruh kaum muslimin yang menjadi target serangan untuk melawan dan wajib atas kaum muslimin lainnya untuk menolong kaum muslimin yang diserang, sebagaimana firman Allah Subhanhu wa Ta'ala :

وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ

 بَصِيرٌ

"Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka". [Al Anfal : 72].

Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar menolong kaum muslimin. Kewajiban ini disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Lihat Majmu' Fatawa, XIV/464.

Ketika terjadi penyerangan Sovyet atas Afghanistan, Mufti Kerajaan Saudi Arabia Ibn Baz rahimahullah menyatakan, jihad bagi orang Afganistan adalah jihad yang disyariatkan untuk melawan kaum kuffar, maka saudaranya yang sedang bertempur melawan musuh wajib dibantu dan ditolong dengan berbagai macam pertolongan. Adapun bagi Saudara kita di Afganistan, hukumnya fardhu 'ain untuk membela agamanya, saudaranya dan negerinya. Adapun selain (yang berada) di Afghanistan hukumnya fardhu kifayah, sebagaimana disebutkan di dalam surat At Taubah ayat 140, Al Maidah ayat 35. Lihat Majmu'
Fatawa Maqalat Mutanawi'ah Ibn Baz, 5/151.

Fatwa ini membantah tuduhan mujahid hizbi yang menghina ulama Salaf, bahwa seolah ulama Salaf diam tidak berbuat apa-apa ketika saudaranya dibantai oleh musuh-musuh Allah. Ketauhilah, ulama Salaf tidak takut mati, akan tetapi takut bila berjihad menyelisihi Sunnah NabiNya. Karena jihad termasuk ibadah, maka harus berdasarkan dalil. Ini berbeda dengan mujahid hizbi yang membolehkan jihad dengan segala macam cara, yang akhirnya fatal pula akibatnya dan merugikan kaum muslimin sendiri.

Salah satu bentuk bantuan yang bisa diberikan oleh seluruh kaum muslimin adalah mendo'akan kaum muslimin agar diberikan kemenangan dan ketabahan dalam berjihad. Sebagaimana dicontohkan oleh para ulama, yang mendo'akan para mujahidin.

3. Umat Islam Dilarang Membunuh Orang Kafir Yang Mendapat Jaminan Keamanan
Sekalipun umat Islam tertindas di negeri orang kafir, tetapi umat Islam di negara lain tidak boleh balas dendam kepada orang kafir yang tinggal di negerinya, sebab bisa jadi akan membangkitkan dendam orang kafir kepada orang Islam minoritas di negeri lain. Abdullah bin Amr Radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

"Barangsiapa yang membunuh orang yang telah mengadakan perjanjian damai, tidaklah dia mencium bau Surga, dan sesungguhnya baunya akan dijumpai selama perjalanan empat puluh tahun". [HR Bukhari, 2930]

Dari Amr bin Abasah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْمٍ عَهْدٌ فَلَا يَشُدُّ عُقْدَةً وَلَا يَحُلُّهَا حَتَّى يَنْقَضِيَ أَمَدُهَا أَوْ يَنْبِذَ إِلَيْهِمْ عَلَى

 سَوَاءٍ فَرَجَعَ مُعَاوِيَةُ

"Barangsiapa mengadakan perjanjian dengan suatu kaum, maka tidak boleh mengikat perjanjiannya sehingga tidak boleh lepas, dan tidak boleh melepaskannya sehingga usai masanya, atau sama-sama melepaskannya". [HR Abu Dawud, 2378. Lihat Ash Shahih, oleh Al Albani, 6480]

Sebaliknya, orang Islam diperbolehkan berbuat baik dan berbuat adil kepada orang kafir dalam suatu negeri, yang mereka tidak memusuhi Islam dan pemeluknya, berdasarkan firman Allah dalam surat Al Mumtahanah ayat 8-9, yang artinya : "Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim". [Mumtahanah : 8-9]

Mufti Kerajaan Saudi Arabia Ibn Baz berkata: "Dilarang membunuh orang kafir yang dijamin aman tinggal di negerinya yang aman. Demikian juga dilarang membunuh wisatawan dan tamu negara yang tinggal di Negara Islam". Lihat kitab Kaifa Nualiju Waqiana Al Alim, hlm. 182-183.

Adapun tentang alasan bolehnya melanggar perjanjian dengan orang musyrik, sebagaimana kisah Abu Bashir Radhiyallahu 'anhu yang menyerang kafilah(rombongan orang) orang musyrik, hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayyim Al Jauzi, bahwa perjanjian yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan orang musyrik, tidaklah sama dengan peristiwa Abi Bashir dan kawan kawannya bersama mereka. Maksudnya, bila terdapat perjanjian antara sebagian kerajaan kaum muslimin dan sebagian kafir dzimmi dari orang Nasrani, boleh untuk kerajaan kaum muslimin yang lain menyerang mereka dan merampas hartanya, jika antara mereka tidak ada perjanjian. Lihat Zadul Ma'ad (3/309).

bersambung ...

Oleh Ustadz Aunur Rofiq Ghufron, Lc
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
http://almanhaj.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layu Sebelum Berkembang

Imam Malik Bin Anas

SEBANYAK 12 MALAIKAT BEREBUT MENCATAT KEBAIKAN KITA