Tanya Jawab Seputar Hizbut Tahrir (Bag 1)
Berkenaan dengan Hizbut Tahrir yang
merupakan partai yang didirikan oleh Taqiyyudin an-Nabhany[1],
kami memiliki sejumlah pandangan terhadap partai ini, sebagai berikut:
1. Bahwa mereka tidak menerima
‘khobarul ahad’[2]
dalam permasalahan aqidah[3],
hal inilah yang menyebabkan mereka keluar dari Ahlus Sunnah pada perkara aqidah[4].
Karena menerima hadits adalah suatu prinsip penting,
sedangkan mereka tidak menerima
perkataan Rasulullah dalam perkara aqidah. Mereka tidak mengimani, sebagai
contohnya, adanya siksa kubur, mereka tidak mengimani munculnya Dajjal,
turunnya Isa al-Masih, dan banyak lagi yang tak mereka imani yang tersebut
dalam hadits.
[5] Hal ini tentunya adalah suatu hal yang bathil, karena
hadits ahad yang shohih, yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, jujur,
bersambung sanadnya mulai dari awal sampai akhir, tidak menyelisihi sesuatu
yang lebih terpercaya (tsiqoh) dan tidak mengandung ‘illat (kelemahan yang tersembunyi),
maka hadits yang memenuhi kelima syarat ini adalah (khobar) yang membuahkan
ilmu (yakin), sedangkan mereka
menyatakan hadits ini hanya membuahkan dhon (dugaan/asumsi) belaka. Bantahan
terhadap mereka dalam masalah ini secara terperinci, bisa ditemukan pada bukuku
yang berjudul, al-Adillah wa asy-Syawaahid fi wujuubi al-akhdzi bi khobar
al-wahid fi al-ahkam wa al-aqo^id. Dalam buku ini aku menyebutkan
bukti-bukti pendapat mereka dari kitab mereka yang berjudul ad-Dusiyah dan
kubantah secara mendetail. Barang siapa yang menghendaki pembahasan mendalam
tentang hal ini, silakan merujuk ke kitabku tersebut. Semoga Allah
menjadikannya bermanfaat bagi kaum muslimin.
2. Partai
ini, menuduh Ahlus Sunnah sebagai Jabbariyah yang mereka paparkan secara
terang-terangan dalam kitab mereka, ad-Dusiyah, pada pembahasan
al-Qodho’ wal Qodar[6], sebagai berikut: “..Jika kita tilik Ahlus Sunnah,
yang beranggapan bahwa merekalah yang memiliki pandangan yang keluar dari
antara kotoran dan darah, maka merekalah jabariyyah.”[7]
Inilah
kejahilan mereka terhadap bagian penting dari aqidah, dimana Ahlus Sunnah
senantiasa menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan dan mengingkari apa-apa
yang telah Allah ingkari. (Sedangkan) mereka menetapkan bahwa seorang hamba
memiliki kehendak yang bebas, kecuali hal-hal yang tidak mungkin melainkan
karena kehendak Allah, Yang Maha Sempurna dan terbebas dari segala kekurangan,
Yang Maha Tinggi. Ada suatu bukti yang kuat tentang tuduhan ini, kami telah
menyebutkannya sebagian dalam bantahan kami terhadap mereka dalam buku ál-Jama’ah
al-Islamiyyah.[8]
3. Partai
ini juga memiliki beberapa pendapat yang ganjil. Sebagai contoh, mereka
memperbolehkan fotografi telanjang dan mereka mengizinkan melihat foto tersebut[9], padahal hal ini mengandung bahaya yang besar terhadap
perkara syari’ah. Mengenai hal ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
bersabda, “Janganlah seorang wanita menggambarkan wanita lain kepada
suaminya seolah-olah ia dapat melihatnya.” Sabda Nabi “seolah-olah ia
dapat melihatnya.” adalah tidak langsung melihatnya, namun wanita tersebut
tergambar dalam imajinasinya, jadi letak pengharamannya adalah pada munculnya
imajinasi tersebut. Lantas, bagaimanakah dengan dengan gambar yang berada
langsung secara fisik di depan orang yang memandangnya?! Yang mana gambar itu
memperlihatkan hal yang menarik perhatian, mempertontonkan tubuh wanita, bahkan
membuka auratnya… tidakkah ini lebih haram?
Kedua,
walaupun foto atau gambar tersebut tidak bergerak dan tidak dapat merasakan,
namun tetap merupakan gambar yang nyata, dan kebugilan adalah sesuatu yang
diharamkan. Lantas, bagaimana bisa kita memperbolehkan memandang sesuatu yang
haram?!
Selanjutnya,
memandang gambar-gambar demikian ini akan membangkitkan naluri kebinatangan dan
kecenderungan syaithaniyyah pada seseorang. Sesuatu yang menghantarkan kepada
keharaman adalah haram. Bahkan perkara ini telah melampaui batas di antara
mereka hingga kepada tingkatan bolehnya mencium wanita ajnabiyah[10], ini sesuatu yang sangat berbahaya!!!
4. Yang
lebih berbahaya lagi, mereka telah mengarahkan seluruh perhatiannya untuk
melawan hukkam (pemerintah)[11]. (Mereka sering
berkoar-koar), “Pemerintahan ini adalah kaki tangan Amerika,
pemerintahan ini adalah boneka Inggris”[12] seolah-olah tak ada satupun (pemerintahan) di dunia ini
melainkan (kaki tangan) Amerika dan Inggris. Dan seolah-olah hanya Amerika dan
Inggris yang mengatur (menguasai) permasalahan dunia. Hal ini menyebabkan ummat
menyimpang dari pemahaman yang benar tentang dien mereka dan jauh dari manhaj
Allah dalam merubah perkara ini. Mereka beranggapan, jika mereka merubah
pemerintah, mereka akan memperoleh apa yang mereka inginkan[13].
[1]
Beliau adalah Syaikh Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Ismail an-Nabhany
Rahimahullah, seorang pemikir Islam yang aqidahnya terpengaruh oleh
Asy’ariyyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah. Beliau adalah cucu dari seorang shufi
ghulat (sufi ekstrim) yang terkenal, Yusuf bin Ismail an-Nabhany, penulis
kitab Jami’ Karomaat al-Awliyaa’ dan Syawahidul Haqq fil istighotsah
bi sayyidil kholqi yang penuh dengan keganjilan-keganjilan shufiyyah yang
banyak diadopsi kesultanan Utsmaniyyah. Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi telah
membantahnya dalam Ghoyatul amaaniy fi roddi ‘alan Nabhany. Beliau
dilahirkan tahun 1905 di desa Ijzim, dekat kota Hifa. Beliau menghafal al-Qur’an dan
belajar fiqh pada ayahnya, Syaikh Ibrahim an-Nabhany Rahimahullah. Beliau
alumnus al-Azhar Mesir dan pernah menjabat sebagai Qodhi di Mahkamah Syari’ah,
dan pada tahun 1950 beliau menjadi anggota Mahkamah Isti’naf asy-Syari’ah.
Tanggal 10 Desember 1977 beliau wafat di Libanon dengan meninggalkan karangan
yang cukup banyak dan karyanya menjadi referensi acuan gerakan dan pemikiran
Hizbut Tahrir, diantaranya :
-
Nidhomul Islam (Peraturan
hidup dalam Islam)
-
Nidhomul
hukmi fil Islam (Sistem
Pemerintahan Islam)
-
Nidhomul
Iqtishodi fil Islam (Sistem
Ekonomi Islam)
-
Nidhomul Ijtima’i fil Islam
(Sistem Pergaulan dalam Islam)
-
At-Takattul Hizby (Pembentukan
Partai)
-
Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah 3
jilid (Kepribadian Islam)
-
Nida’ul haar ila aalamil Islamy (Seruan
kepada dunia Islam)
Dan beberapa
kitab lainnya. Kitab-kitab di atas banyak sekali menyelisihi pemahaman Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dan terpengaruh oleh filsafat mu’tazilah. Sebagian besar
kitab-kitab di atas telah diterjemahkan oleh penerbit Pustaka Thoriqul Izzah
dan al-Izzah, penerbit yang menyebarkan faham Hizbut Tahrir.
[baca : al-Jama’at
al-Islamiyyah hal. 287, Hizbut Tahrir Munaqosyah Ilmiyyah hal. 10
dan Hizbut Tahrir hal 27-29), dan Mawsu’ah al-Muyassarah hal. 344]
[2]
Dalam Taisir Mustholahul Hadits karya
DR. Mahmud Thohhan, dikatakan : Hadits dari sisi sampainya kepada kita ada dua,
yakni Mutawattir dan Ahad. Khobar Mutawattir adalah yang diriwayatkan
sekelompok perawi yang banyak (tiap thobaqot tidak kurang dari 10 orang menurut
pendapat yang terpilih) yang menurut adat tidak mungkin mereka bersepakat untuk
berdusta. Sedangkan khobar ahad adalah khobar yang tidak sampai derajat
mutawattir.
[3]
Hizbut Tahrir menyatakan di dalam kitab ad-Dusiyah hal. 3 : “Terdapat perbedaan antara
hukum-hukum syariat dan perkara-perkara aqidah dari sisi dalil. Hukum-hukum
syar’iyyah boleh ditetapkan dengan dalil dhonniy dan boleh dengan dalil qoth’iy
kecuali aqidah, karena harus ditetapkan dengan dalil qoth’iy, tidak boleh
ditetapkan dengan dalil dhonniy sedikitpun. Aqidah tidak boleh diambil
melainkan harus dengan dalil yakin,
apabila dalilnya qoth’iy maka wajib diimani dan mengingkarinya adalah
kafir, namun jika dalilnya dhonniy maka haram bagi tiap muslim mengimaninya…,
maka wajib menetapkan aqidah dengan dalil qoyh’iy…”
Hizbut Tahrir
berpendapat bahwa aqidah adalah “Pembenaran secara pasti sesuai dengan
kenyataan menurut dalil”, maka menetapkan aqidah haruslah dengan dalil qoth’iy
dan tidak boleh dengan dalil dhonniy. Mereka mensyaratkan dua sisi dalam menerima suatu berita keimanan atau
aqoid, yakni :
-
Ats-Tsubut (ketetapan asalnya) harus qoth’iy tidak boleh dhonniy.
Menurut mereka khobar mutawattir adalah qoth’iy ats-tsubut sedangkan khobar
ahad adalah dhonniy ats-tsubut, sehingga khobar ahad tak boleh dijadikan dasar
dalam aqidah.
-
Ad-Dilalah (penunjukan lafadh nash) harus qoth’iy tidak boleh
dhonniy. Menurut mereka, nash-nash dalil walaupun dari al-Qur’an atau hadits
mutawattir yang qoth’iy ats-tsubut belum tentu qoth’iy ad-dilalah, jika
menimbulkan interpretasi yang berbeda dari lafadh yang sama, maka dikatakan
lafadh tersebut dhonniy ad-dilalah dan tidak boleh dijadikan hujjah dalam
perkara aqidah. Sehingga masalah sifat-sifat Allah menurut mereka adalah dhonniy
ad-dilalah dan tidak bisa dijadikan perkara aqoid.
Mereka berargumentasi bahwa dhon itu adalah persangkaan
belaka dan kebathilan, berangkat dari QS an-Najm : 23, 27 dan 28, Yunus : 36
dan 68, an-Nisa’ 157, al-An’am : 116 dan 148, Shod : 27, al-Jatsiyah : 32,
Fushshilat : 22-23, Jin : 5 dan al-Baqoroh : 78. Namun pendapat mereka ini
sangat lemah, dan al-Imam al-Albany telah membantahnya dalam artikel yang
berjudul Hizbut Tahrir al-Mu’tazilah al-Judud yang dimuat dalam majalah as-Salafiyyah
no 2 tahun 1417 hal. 17-23 dan telah diterjemahkan dalam majalah as-Sunnah
edisi 3, tahun III 1428/1998 M.
dengan judul Hizbut Tahrir Neo Mu’tazilah hal. 43-55. demikian pula dalam al-Hadits
hujjah binafsiha, dan lain-lain. [baca :
al-Jamaa’at al-Islamiyyah hal. 295, al-Istidlal bidh dhonni
fil aqidah]
[4] Ada tiga pendapat tentang apakah khobar ahad bisa
dijadikan rujukan ‘ilmu ataukah tidak, yaitu :
Pendapat pertama, menyatakan khobarul wahid bisa
membuahkan faidah ilmu sepenuhnya tanpa ada pembatasan dan berlaku pada setiap
riwayat yang dibawakan. Pendapat
ini dinisbatkan kepada sebagian ulama’ bermadzhab Dhahiri. Pendapat ini lemah
dan tertolak.
Pendapat kedua, menyatakan khobarul ahad tidak bisa
membuahkan faidah ilmu sama sekali, walaupun disertai dengan qorinah ataupun
tidak. Ini pendapat dari kalangan ahlul kalam (mu’tazilah) dan ushuliyyun.
Pendapat inipun juga tertolak dan lemah.
Pendapat ketiga, menyatakan khobarul ahad bisa membuahkan
ilmu jika disertai dengan qorinah-qorinah. Inilah pendapat sebagiam madzhab
Dhohiri (lihat al-Ihkam fi ushulil ahkam I/14 karya Imam Ibnu Hazm
adh-Dhahiri), para Muhadditsin dan Imam Madzhab, serta jumhur ahlus sunnah wal
jama’ah.
Baca : Manhajul Istidlal ‘ala masaaill I’tiqod ‘inda
ahlis sunnah wal Jama’ah, dan Asyratus sa’ah (Tanda-tanda hari
kiamat, Yusuf bin Abdullah al-Wabil, Pustaka Mantiq, hal 38-45)
[5] Baca majalah al-Furqon edisi 8 tahun II hal 4-8
dan edisi 9 tahun II hal. 4-9 yang berjudul Mu’tazilah mengguncang aqidah.
Dalam artikel ini dijelaskan bahwa, hadits tentang siksa kubur, pertanyaan
Munkar-Nakir, keluarnya Dajjal, turunnya Isa bin Maryam dan munculnya Imam
Mahdi adalah hadits mutawattir ma’nawy.
[6] Mengenai perkara al-Qodho’ wal Qodar, Hizbut
Tahrir memiliki pandangan tersendiri yang mereka klaim berbeda dengan pemahaman
Ahlus Sunnah, Qodariyah maupun
Jabariyyah. Taqiyuddin an-Nabhany berkata dalam Nidhomil Islam hal. 15,
“Masalah Qodho’ dan Qodar sungguh telah memainkan peranan penting dalam
madzhab-madzhab Islam. Ahlus Sunnah berpendapat yang ringkasnya mengatakan
bahwa manusia itu memiliki kasb ikhtiary di dalam perbuatannya, yang
mana mereka dihisab karena kasb ikhtiary tersebut. Sedangkan mu’tazilah
berpandangan yang ringkasnya adalah manusia sendiri yang menciptakan
perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya karena ia sendiri yang
menciptakannya. Adapun jabariyyah memiliki pendapat sendiri yang ringkasnya
adalah Allahlah yang menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia dipaksa
melakukan perbuatannya dan tidak mampu berikhtiar bagaikan bulu yang
diterbangkan angin ke mana saja.”
Beliau melanjutkan dalam paragraf berikutnya,
“…Ternyata asas ini tidak berkaitan dengan perbuatan manusia dilihat dari
apakah diciptakan oleh Allah atau oleh manusia itu sendiri, juga tidak
berkaitan dengan Ilmu Allah dipandang dari sisi kenyataan bahwa Allah Subhanahu
wa Ta'ala mengetahui apa yang akan dilakukan oleh hamba-Nya, dimana ilmunya
meliputi segala perbuatan hamba, dan tidak pula terkait dengan irodah Allah
yang iradah-Nya berkaitan dengan perbuatan hamba sehingga perbuatan tersebut
terjadi dengan adanya irodah Allah, juga tidak berhubungan dengan perbuatan
hamba dalam lauhul mahfudz, sehingga mau tidak mau ia harus melakukan
sesuai dengan apa yang tertulis… Memang benar!!! Semua perkara di atas bukanlah
dasar dalam pembahasan al-Qodho’ wal Qodar.”
Bandingkanlah pembahasan Qodho’ wal Qodar metodenya HT
dengan metode para ulama ahlus sunnah dalam kitab-kitab mereka, yang membahas
masalah Qodho’ wal Qodar ini secara tafshil
(terperinci) dan ilmiyah serta lebih rasional dibandingkan metodenya HT maupun
kelompok lainnya. Ahlus sunnah berpendapat bahwa Allah memiliki dua macam
irodah, yakni irodah kauniyah dan irodah syar’iyyah. Adapun kelompok
Mu’tazilah dan Qodariyah, mereka menolak adanya irodah kauniyah, karena jika
demikian,menurut pendapat mereka Allah itu dhalim. Mereka bertujuan tanzih
(mensucikan) Allah namun mereka terjebak dalam filsafat rasionalis.
[7] Teksnya dalam ad-Dusiyah hal 21-22 sebagai
berikut, “Mereka (Ahlus Sunnah) menganggap bahwa pandangan mereka adalah
pandangan yang baru, bukan pandangan mu’tazilah dan bukan pula jabariyah.
Mereka (Ahlus Sunnah) berkata tentang pandangan mereka (yakni al-Kasb)
bahwa pandangan mereka tersebut bagaikan susu yang bersih yang keluar
diantara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya.”
Kalimat yang diitalickan di atas mengacu pada QS
an-Nahl (16) : 66, yang merupakan kinayah. Maksudkan adalah mereka (HT) beranggapan
bahwa ahlus sunnah mengklaim pendapatnya bagaikan susu murni, yakni pendapat
yang benar, yang keluar diantara kotoran (kinayah bagi pendapatnya mu’tazilah)
dan darah (kinayah bagi pendapatnya jabbariyah). Tuduhan mereka ini dimentahkan
dan dibantah secara mendetail oleh Syaikh Salim dalam al-Jamaa’at
al-Islamiyyah hal. 329-342.
[9] Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang gambar wanita
bukan mahram, walaupun dengan syahwat sebagaimana dalam nusyrah (selebaran
resmi Hizbut Tahrir) no 16/Syawwal/1388H atau 4/1/19 69M. yang berisi. “Memikirkan
dengan syahwat, berkhayal dengan syahwat ataupun memandangi foto wanita dengan
syahwat tidak haram, demikian pula pergi menonton bioskop adalah tidak haram,
dikarenakan yang ditonton hanyalah gambar (benda mati) yang bergerak.”.
Demikian pula dalam nusyrah no 21/Jumadil awwal/1390 atau 24/7/1970M,
dikatakan, “Sesungguhnya memandang gambar wanita baik dari cermin, di kartu, di
surat kabar ataupun yang semisalnya tidaklah haram”.
Jika ada yang membantah hal ini dengan alasan bahwa
nusyroh tersebut sudah lama, dan telah dianulir, maka kita jawab, dimanakah
bantahan (anulir) dan revisi tersebut??? Jika memang benar pendapat HT ini direvisi
kenapa tidak diterangkan ke ummat secara nyata bahwa HT (secara internasional)
mengharamkan foto wanita???. Maka kita tidak heran melihat publikasi, majalah
atau selebaran mereka penuh dengan gambar-gambar wanita, sebab menurut madzhab
mereka hal ini tidak haram.
[10] Hizbut Tahrir berpendapat bahwa mencium wanita ajnabiyah
(bukan mahram) adalah mubah tidak haram, sebagaimana dalam nusyrah jawab
wa su’al no 24/Rabi’ul Awwal/1390 atau 29/5/1970M. Beberapa syabab yang
pernah saya konfirmasi, termasuk mantan murabbi saya juga pernah menjelaskan
bahwa isu tentang bolehnya mencium wanita ajnabiyah ini adalah suatu
kesalahfahaman. Karena isu ini muncul ketika seorang musyrif Hizbut
Tahrir di bandara terlihat mencium mutarobbiah (santri binaan
wanita)-nya, yang menurut mereka mutarobbiah yang dicium tersebut adalah
saudara perempuan kandung sang musyrif. Wallahu a’lam tentang benar atau tidaknya klarifikasi ini,
namun yang pasti Hizbut Tahrir memperbolehkannya dalam nusyrahnya.
[11] Hal ini diantara yang membedakan antara ahlus sunnah
dengan mereka dalam mensikapi ‘umara’ dan hukkam. Di dalam Manhaj
Hizbit Tahrir fit Taghyir hal. 36 dikatakan, “Hizb tidak berkompromi dengan
para penguasa dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, termasuk konstitusi
dan perundang-undangan mereka walau dengan alasan kelancaran da’wah. Sebab
syara’ mengharamkan mempergunakan sarana yang haram untuk memenuhi suatu
kewajiban. Sebaliknya hizb mengoreksi dan mengkritik penguasa dengan tegas.
Hizb menganggap bahwa peraturan yang mereka terapkan itu adalah peraturan kufur
sehingga harus dimusnahkan dan diganti dengan hukum Islam. Hizb juga menganggap
bahwa mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang fasik dan dhalim…”
Dalam hal 37, “…Hizb juga menolak membantu mereka
melakukan ishlah baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan
maupun di bidang moral…”
Dalam hal 42, “Aktivitas hizb adalah menentang para
penguasa di negara-negara Arab maupun negeri-negeri Islam lainnya.
Mengungkapkan makar-makar jahat mereka, mengoreksi dan mengkritik mereka…”
[12] Bukan hanya dengungan-dengungan ini saja yang mereka
gembar-gemborkan terhadap hukkam atau penguasa kaum muslimin, mereka juga
mengatakan bahwa seluruh negri Islam saat ini adalah Darul kufur wal Harb,
sebagaimana dalam buku mereka, Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hal 5,
“Adapun kondisi negeri-negeri yang hidup di dalamnya kaum muslimin saat ini di
seluruh negeri, adalah darul kufr bukan darul islam.”
Asy-Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqy berkata dalam
kitabnya, Hizbut Tahrir Munaqosyah Ilmiyyah li ahammi mabadi^il hizbi wa
roddu ‘ilmiy mufashshsal hawla khobari wahid hal 47, “Aku bertanya dengan
salah seorang diantara mereka (Hizbut Tahrir) : “Bagaimanakah (menurutmu)
dengan Makkah dan Madinah? Apakah termasuk Darul Iman ataukah Darul Kufur wa
Harb??”, Dia menjawab, “Termasuk darul Kufur dan Harb!”, aku berkata lagi,
“Lantas apakah boleh aku berhaji ke darul Kufur??? Lantas dimanakah Darul Iman
jika Makkah dan Madinah termasuk darul Kufur!!” Diapun kebingungan… Ada Seorang
juga bertanya kepada mereka (Hizbut Tahrir), “Apakah ada Darul Islam di dunia
saat ini?” mereka menjawab, “Tidak ada!!!”, ia bertanya lagi, “Saya ingin
berhijrah, kemanakah gerangan aku harus berhijrah (jika tidak ada darul
Islam)???” Mereka kebingungan menjawabnya. [Padahal Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa Sallam bersabda, “Hijrah akan senantiasa ada hingga hari kiamat”]
[13] Inilah manhaj Hizbut Tahrir yang sangat kentara sekali.
Mereka lebih memprioritaskan penegakkan Daulah Islamiyyah dan kekuasaan
ketimbang perbaikan aqidah dan tauhid. Mereka telah menjadikan penegakkan
daulah saat ini hukumnya paling wajib dan paling urgen serta mendesak. Mereka
berpandangan bahwa segala kemerosotan, kehancuran dan kekacauan yang melanda
ummat saat ini dikarenakan tidak adanya payung yang melindungi ummat dari kaum
kuffar, yakni daulah khilafah. Maka semenjak kesultanan Utsmani runtuh, pada
tahun 1924 di Turki, maka ummat islam semuanya dalam keadaan berdosa dan ummat
wajib ‘ain mengembalikannya. Mereka mengkonsentrasikan segala daya dan upaya
untuk meraih kembali kekuasaan, namun mereka lupa…atau mereka sengaja
melupakan… bahwa segala bentuk musibah dan bencana yang menimpa ummat islam ini
dikarenakan kelalaian dan kejahilan ummat ini sendiri terhadap diennya.
Bagaimana mungkin Allah akan menghancurkan ummat ini dan mencabut kekuasaan
mereka jika tidak karena ummat manusia ini sendiri yang melupakan dan
melalaikan Allah. Dengan jelas Allah telah menjanjikan kepada ummat ini
kekhilafahan dan memperteguh kekuasaan mereka, sebagaimana dalam QS an-Nur ayat
55, “Allah telah berjanji terhadap
orang-orang yang beriman diantara kalian dan beramal sholih, Dia sungguh
benar-benar akan meneguhkanmu dengan kekhalifahan di muka bumi sebagaimana
Allah memberikan kekhalifahan kepada orang-orang sebelummu, Allah juga akan
memperteguh agamamu yang Ia ridha sebagai agama kalian, dan Ia sungguh akan
mengganti bagi kalian, rasa takut kalian dengan keamanan sentausa.” namun
dengan syarat, “Ya’buduwnaniy laa yusyrikuuna biy syai^aa” yang artinya,
“Mereka menyembah-Ku semata dan tidak
menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.” (baca QS an-Nur (24) : 55). Inilah
kuncinya, menegakkan Tauhid dan memerangi kesyirikan, atau dengan kata lain ’Tarbiyah’
(pembinaan) wa Tashifiyah (pemurnian). Inilah perbedaan manhaj Hizbut
Tahrir yang juz’iy (parsial) dengan manhaj salaf yang kulliyat (integral). Bandingkan manhaj
mereka dengan manhaj salaf dengan membaca at-Tashfiyah wa Tarbiyah karya
Syaikh Ali bin Hasan al-Halaby (telah diterjemahkan oleh Pustaka Imam Bukhori
Solo), dan Manhajul Anbiya’ fid Da’wati ila Allah karya Syaikh DR. Rabi’
bin Hadi al-Madkholi (beliau adalah Imam Jarh wa Ta’dil, telah diterjemahkan
oleh Maktabah Salafy Press) dan kitab-kitab lainnya.
Oleh : Syaikh Salim
bin Ied al-Hilaly
Maktabah abu Salma Al Atsary
http://dear.to/abusalma
Komentar
Posting Komentar