Fatwa Para Ulama Sunnah tentang Jama’ah Tabligh (Bag 2)
“Maka tidak boleh khuruj (keluar) bersama
pemahaman tentang akidah yang shahih yang dipegang teguh oleh ahli sunnah wal
jamaah, sehingga ia bisa membimbing dan menasehati mereka serta bekerja sama
dengan mereka untuk melakukan kebajikan.”
Penyusun mengatakan :
Semoga Allah merahmati
Syaikh, kalaulah mereka itu mau menerima nasehat, dan bimbingan dari ahli ilmu,
tentulah tidak ada halangan untuk keluar (khuruj) bersama mereka, akan tetapi
realita yang membuktikan meninggalkan kebatilan mereka. Disebabkan ta’asub
(fanatik) dan sikap bahwasanya mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak mau
menuruti hawan nafsu mereka yang bersangatan.
Kalaulah mereka
menerima nasehat-nasehat para ulama, niscaya mereka telah meninggalkan manhaj
mereka yang batil dan pastilah mereka telah menempuh jalan ahli tauhid dan
sunnah.
Jika seandainya
permasalahannya seperti itu, maka tidaklah boleh khuruj (keluar) bersama
mereka, sebagaimana sikap itu merupakan sikap manhaj salafusholeh yang
berpengang kepada kitab dan sunnah dalam mentahdzir (memperingatkan) dari ahli
bid’ah dan dari bergaul serta bermajlis dengan mereka, karena hal itu adalah
menambah banyaknya keanggotaan mereka, dan membantu dan memperkuat bersebarnya
kesesatan mereka, dan hal itu adalah pengkhianatan terhadap agama Islam dan
kaum muslimin, terpedaya oleh mereka dan kerja sama dalam melakukan dosa dan
melampaui batas.
Apalagi mereka itu
melakukan bai’at berdasarkan atas 4 macam tarikat (ajaran) sufi yang di
dalamnya terdapat keyakinan hululiyah (Allah menepati makhluk) dan wahdatul
wujud (Allah dan makhluk satu) serta syirik dan bid’ah.
Fatwa
Lajnah Daimah (Lembaga Tetap) tentang Jamaah Tabligh.
No fatwa : 17776,
tertanggal : 18/3/1416 H.
Seorang penanya
(Muhammad Khalid Al Habsi) bertanya setelah ia mengemukakan pertanyaan pertama,
sebagai berikut :
“Saya pernah membaca beberapa fatwa Syeikh (Ibnu Baz). Dan Syeikh mendorong /
mengajak pelajar (penuntut ilmu) untuk keluar (khuruj) bersama Jamaah Tabligh,
dan alhamdulillah kami telah khuruj bersama mereka, dan kami memetik faidah
yang banyak, akan tetapi, wahai Syeikh yang mulia, saya melihat sebagian amalan
(yang dikerjakan-pent) tidak ada tercantum di dalam Kitabullah dan sunnah
rasul-Nya seperti :
1.
Membuat lingkaran di dalam masjid pada setiap dua orang atau lebih, lalu mereka
saling mengingat sepuluh surat terakhir dari Al Quran, dan konsisten dalam
menjalankan amalan ini dengan cara seperti ini pada setiap kali kami khuruj
(keluar).
2. Ber’itikaf pada
seriap hari Kamis dalam bentuk terus menerus.
3.
Membatasi hari untuk khuruj, yaitu tiga hari dalam satu bulan, empat puluh hari
setiap tahundan empat bulan seumur hidup.
4. Selalu doa berjamaah
setiap setelah bayan (pelajaran).
Bagaimanakah wahai
syaikh yang mulia, jika seandainya saya keluar bersama jamaah ini, dan saya
melakukan amalan-amalan dan perbuatan ini yang tidak pernah terdapat di dalam
kitabullah dan sunnah rasul, ketahuilah wahai syaikh yang mulia, sesungguhnya
merupakan hal yang sangat sukar sekali untuk merobah metode (manhaj) ini.
Beginilah cara dan metode mereka seperti yang diterangkan di atas.
Jawab
“Apa yang telah anda
sebutkan dari perbuatan jamaah ini (Jamaah Tabligh) seluruhnya adalah bid’ah,
maka tidak boleh ikut serta sama mereka, sampai mereka berpegang teguh dengan
manhaj kitab dan sunnah serta meninggalkan bid’ah-bid’ah.”
Ketua : Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz.
Anggota : Abdul Aziz
bin Abdullah Ali Syeikh.
Anggota : Sholeh bin
Fauzan Al Fauzan.
Anggota : Bakr bin
Abdullah Abu Zaid.
(Di bawahnya penyusun
melampirkan kopian fatwa beserta tanda tangan setiap syeikh).
Fatwa
Syaikh ‘Alaamah Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh tentang tahdzir (peringatan)
dari Jamaah Tabligh.
“Dari Muhammad bin
Ibrahim kepada hadapan pangeran Khalid bin Su’ud, pimpinan kantor kerajaan yang
terhormat, assalamu’alikum warahmatullah wabarakatu dan selanjutnya :
Sungguh saya telah
menerima surat Pangeran (no : 36/4/5-d, tertanggal 21/1/1382 H) beserta
lampirannya, hal itu adalah harapan yang Muhammad Abdul Majid Al Qadiri, Syah
Ahmad Nurani, Abdus Salam Al Qadiri dan Su’ud Ahmad Ad Dahlawi, sekitar
permohonan mereka minta bantuan untuk proyek organisasi mereka yang mereka
namakan (Kuliah dilampirkan bersama surat mereka. Saya mengemukakan kepada
hadapan Pangeran, bahwasanya organisasi ini tidak ada kebaikan di dalamnya,
karena sesungguhnya ia adalah organisasi bid’ah dan sesat.
Dan dengan membaca
buku-buku kecil yang dilampirkan dengan surat mereka, maka kami telah menemukan
buku-buku itu mengandung kesesatan, bid’ah dan dakwah (ajakan) kepada
mengibadati kubur dan syirik. Hal itu adalah perkara yang tidak mungkin
didiamkan. Oleh karena itu kami insya Allah akan membalas surat mereka dengan apa
yang mungkin menyingkap kesesatan mereka dan membantah kebatilan mereka. Dan
kita mohon kepada Allah wassalamu’alaikum warahmatullah”. [S-M-405 pada tanggal
29/1/1382H].
{Rujuklah ke Kitab :
Alqaulul Baligh fit Tahdzir Min Jamaatit Tabligh, oleh syaikh Hamud At Tuwaijiri halaman : 289}.
Fatwa Syaikh Alaamah Muhammad Nashiruddin Al Albani tentang Jamaah Tabligh.
Beliau pernah ditanya :
“Apakah pendapat Syaikh
tentang Jamaah Tabligh, apakah boleh bagi pelajar (penuntut ilmu) atau lainnya
untuk khuruj (keluar) bersama mereka dengan dalih berdakwah kepada Allah ?
Maka beliau menjawab :
Jamaah Tabligh tidak
berdiri (berdasarkan) atas manhaj kitabullah dan sunnah rasul-Nya ‘alaihi
salawat wa salam, dan apa yang dipegang oleh salafus sholeh.
Kalau seandainya
perkaranya seperti itu, maka tidaklah boleh khuruj bersama mereka, karena hal
itu bertentangan dengan manhaj kita dalam menyampaikan manhaj salafus sholeh.
Maka dalam medan dakwah
kepada Allah, yang keluar itu adalah orang yang berilmu, adapun orang-orang
yang keluar bersama mereka, yang wajib mereka lakukan adalah untuk tetap
tinggal di negeri mereka dan memperlajari ilmu di mesjid-mesjid mereka,
sampai-sampai mesjid-mesjid itu mengeluarkan ulama yang melaksanakan tugas
dalam dakwah kepada Allah.
Dan selama kenyataanya
masih seperti itu, maka wajiblah atas penuntut ilmu (pelajar) untuk mendakwahi
mereka-mereka itu (Jamaah Tabligh-pent) di dalam rumah mereka sendiri, agar
mempelajari kitab dan sunnah dan mengajak manusia kepadanya.
Sedang mereka yakni
Jamaah Tabligh- tidak menjadikan dakwah kepada kitab dan sunnah sebagai dasar
umum, akan tetapi mereka mengatagorikan dakwah ini sebagai pemecah. Oleh karena
itu, maka mereka itu lebih cocok seperti Jamaah Ikhwan Muslimin.
Mereka
mengatakan bahwa dakwah kami berdiri atas kitab dan sunnah, akan tetapi ini
hanya semata-mata ucapan, sedangkan mereka tidak ada akidah yang menyatukan
mereka, yang ini Maturidi dan yang itu Asy’ari, yang ini sufi dan yang itu
tidak punya mazhab.
Itu, karena dakwah mereka berdiri atas dasar : bersatu,
berkumpul, kemudian pengetahuan. Pada hakikatnya mereka tidak mempunyai
pengetahuan sama sekali, sungguh telah berjalan bersama mereka waktu lebih dari
setengah abad, tidak pernah seorang alim pun yang lahir di tengah tengah
mereka.
Adapun kita, maka kita
mengatakan : Berpengetahuan (dulu), kemudian berkumpul, sehingga perkumpulan
itu berada di atas pondasi yang tidak ada perbedaan di dalamnya. Dakwah Jamaah
Tabligh adalah sufi moderen, yang mengajak kepada akhlak. Adapun memperbaiki
akidah masyarakat, maka mereka itu tidak bergeming, karena dakwah ini
(memperbaiki akidah) –sesuai dengan prasangka mereka- memecah belah.
Dan sungguh telah
terjadi koresponden antara akh Sa’ad Al Hushain dan pemimpin Jamaah Tabligh di
India atau Pakistan, maka jelaslah darinya bahwa sesungguhnya mereka itu
menyetujui tawasul, dan istighatsah dan banyak hal-hal lain yang sejenis ini.
Dan mereka meminta kepada anggota mereka untuk membai’at di atas emapat macam
terikat (ajaran), diantaranya adalah : An Naqsyabandiyah, maka setiap orang
tabligh seyogyanya untuk membai’at di atas dasar ini.
Dan mungkin seorang akan
bertanya : Sesungguhnya Jamaah ini, disebabkan usaha anggota-anggotnya telah
kembali (insaf dan sadar) kebanyakan manusia
kepada Allah, bahkan mungkin melalui tangan-tangan mereka kebanyakan
orang non muslim telah masuk Islam. Apakah ini sudah cukup sebagai dalih
bolehnya untuk keluar dan bergabung
bersama mereka pada apa yang mereka dakwahkan?
Maka kita katakan :
“Sesungguhnya ucapan-ucapan ini sering kami ketahui dan kami dengar dan kami
dengar (juga) dari orang-orang sufi!!.
Ini bagaikan : Ada
seorang syaikh akidahnya rusak, dan tidak pernah mengetahui sedikitpun tentang
sunnah, bahkan ia memakan harta orang dengan cara batil (tidak sah)…. Disamping
itu banyak orang yang fasik (yang berdosa) bertaubat lewat tangannya….!
Maka setiap jamaah yang
mengajak kepada kebajikan pasti mempunyai pengikut, akan tetapi kita harus
melihat kepada intisari permasalahan, kepada apakah yang mereka mengajak /
berdakwah? Apakah kepada mengikuti kitabullah dan hadits Rasul, kepada akidah
salafus sholeh, tidak ta’ashub (fanatik) mazhab, dan mengikuti sunnah,
dimanapun dan sama siapapun?
Maka Jamaah Tabligh,
mereka tidak memiliki manhaj ilmu, akan tetapi manhaj mereka sesuai dengan
tempat dimana mereka berada, mereka berubah warna dengan setiap warna.
{Rujuklah Fatwa
Imaratiyah, karangan Al Albani soal no : 73 hal : 38}.
Fatwa
Syaikh Alaamah Abdur Razzaq ‘Afifi Tentang Jamaah Tabligh.
Syaikh ditanya tentang
khuruj Jamaah Tabligh dalam rangka mengingatkan manusia kepada keagungan Allah.
Maka Syaikh berkata :
“Pada kenyataannya,
sesungguhnya mereka adalah mubtadi’ (orang yang membuat bid’ah) yang mutar
balikkan serta pelaku terikat (ajaran) Qadariyah dan lainnya. Khuruj mereka
bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan Ilyas (pendiri Jamaah
Tabligh-pent), mereka tidak mengajak kepada kitab dan sunnah, akan tetapi
mengajak kepada Ilyas Syaikh mereka di Bangladesh.
Adapun khuruj dengan
tujuan dakwah kepada Allah, itulah khuruj di jalan Allah, dan ini bukan
khurujnya Jamaah Tabligh. Saya mengetahui Jamaah Tabligh sejak zaman dahulu,
mereka itu adalah pembuat bid’ah di manapun mereka berada, di Mesir, di Israil,
di Amerika, di Saudi, semua mereka selalu terikat dengan syeikh mereka yaitu
Ilyas”.
{Fatawa dan Rasail oleh
samahatu syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi (1/174).
Fatwa
Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan
Syaikh Sholeh bin
Fauzan Al-Fauzan telah ditanya : “Apakah
pendapat syeikh tentang orang yang keluar (khuruj) ke luar Kerajaan Saudi untuk
berdakwah, sedangkan mereka belum pernah menuntut ilmu sama sekali, dan mereka
memberikan motivasi untuk itu, dan mereka elu-elukan syi’ar yang aneh, dan
mendakwakan sesungguhnya siapa yang keluar di jalan Allah untuk berdakwah, maka
Allah akan memberinya ilham. Mendakwakan sesungguhnya ilmu itu bukanlah syarat
yang penting.
Tentu Syaikh mengetahui
bahwa di luar kerajaan Saudi ini akan ditemukan aliran-aliran dan agama-agama
serta pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan kepada si dai.
Tidakkah Anda melihat
wahai Syaikh yang mulia, sesungguhnya orang yang keluar di jalan Allah itu
harus mempunyai senjata agar bisa menghadapi masyarakat, terkhusus di timur
Asia, dimana mereka memerangi / membenci pembaharu dakwah Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahhab? Saya mohon jawaban atas pertanyaan saya ini agar manfaatnya menyebar.”
Jawab
Khuruj (keluar) di
jalan Allah, bukanlah khuruj yang mereka maksudkan sekarang. Khuruj (keluar) di
jalan Allah adalah keluar untuk berperang. Adapun apa yang mereka namakan
dengan khuruj itu, sesungguhnya ini adalah bid’ah yang tidak pernah datang dari
salaf.
Seorang keluar untuk
berdakwah kepada Allah, tidaklah dibatasi pada hari-hari tertentu, akan tetapi
berdakwah kepada Allah sesuai dengan kesempatan dan kemampuannya, tanpa harus
terikat dengan jamaah atau terikat dengan empat puluh hari atau kurang atau
lebih. Dan begitu juga, di antara yang wajib atas seorang dai, ia haruslah
mempunyai ilmu, seseorang tidak boleh berdakwah kepada Allah sedangkan ia bodoh
(tidak berilmu),
Allah berfirman :
Artinya : “Inilah
jalanku, yang aku mengajak kepada Allah di atas pengetahuan” Yaitu atas ilmu,
karena seorang dai mesti mengetahui apa yang akan didakwahinya, berupa
hukum-hukum yang wajib, yang sunat, yang haram dan yang makruh. Dia harus
mengetahui apa itu syirik, maksiat, kekufuran, kefasikan, kemaksiatan. Dan
harus mengetahui tingkat-tingkat pengingkaran, dan bagaimana cara mengingkari.
Khuruj yang menyebabkan
disibukan dari menuntut ilmu adalah perkara yang batil (salah), karena menuntut
ilmu itu adalah fardu (kewajiban), dan ilmu itu tidak bisa didapatkan kecuali
dengan cara belajar, tidak akan didapatkan dengan cara ilham, ini merupakan
khurafat sufi yang sesat, karena amal tanpa ilmu adalah kesesatan. Dan tentu
meraih ilmu tanpa belajar adalah angan-angan yang salah.
Disusun oleh : Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali.
{Dari kitab Tsalatsu
Muhadharat fil Ilmi Wad Da’wah}. Diterjemahkan oleh : Muhammad Elvi Syam, Dai
dan Penerjemah di Islamic Dawa & Guidance Center di Hail. K.S.A
Komentar
Posting Komentar