Tanya Jawab Seputar Hizbut Tahrir (Bag 3)
JAWABAN :
Ini memang pendapat Hizbut Tahrir.
Pertama,
Hizbut Tahrir mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dimana mereka menyebarkan
suatu catatan yang disebut catatan Hanz, dikatakan (dalam catatan
tersebut) bahwa ia (Hanz) adalah agen Inggris dan ia memiliki hubungan dengan
Syaikh al-Imam (Muhammad bin Abdul Wahhab) Rahimahullah serta beliau (Syaikh)
dikatakan sebagai produk Inggris dan (tuduhan) macam macam, dan mereka
mengklaim bahwa beliau adalah produk Inggris dan inggris pulalah yang
membantunya… dan lain-lain… Maka kita katakan pada mereka, tentang tuduhan
bahwa beliau adalah agen Inggris, apakah ini adalah sesuatu yang tidak kasat
mata (tampak), sesuatu yang terbuka dan memiliki saksi?… mereka menjawab,
sesuatu yang tidak kasat mata. Kemudian kita katakan lagi, apakah ini suatu
perkara ‘amaliyah?, mereka menjawab, perkara keimanan. kita katakan lagi,
Lantas bagaimana bisa engkau menerima kesaksian seorang yang kafir terhadap
seorang muslim? Sedangkan kau tidak menerima berita dari seorang muslim
berkenaan tentang hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Mereka
berprinsip bahwa khobarul ahad bukanlah dalil dalam perkara keimanan. lantas,
bagaimana mungkin mereka bisa bergantung pada berita non muslim yang menuduh
muslim?! Ini adalah suatu hal yang aneh!!!
Kedua,
inilah yang sering mereka katakan, menuduh orang dengan pernyataan, ‘orang ini
adalah agen Inggris’, ‘orang ini agen ini dan agen itu’… dalam hal ini, dimana
ketika diberitakan tentang kaum muslimin oleh musuh-musuh mereka, tidak boleh
mempercayainya, “Jika datang kepadamu orang fasiq membawa berita, maka
tabayyunlah (periksalah dengan teliti).” (al-Hujurat 49:6), lantas,
dimanakah letak bukti dan tabayyun terhadap hal ini? Ternyata tidak ada bukti
dan tabayyun!!!
Berikutnya,
perjanjian antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah dengan Alu
Su’ud adalah perjanjian untuk melanggengkan perkara-perkara Islam. Telah
diketahui bersama, bahwa Dien mengharuskan ada seseorang yang mengembannya,
maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta Anshor untuk mengemban
dan menjaganya sebagaimana mereka melakukannya terhadap keluarga dan hartanya.
Namun di sini (yaitu kasus Alu Su’ud), terjadi kesalahan pada saat mereka
(yaitu Alu Su’ud) membuat persyaratan bahwa kepemimpinan adalah hak mereka,
padahal hal ini tidak diperkenankan.
Namun, biar bagaimanapun, perjanjian ini
pada prinsipnya adalah benar walaupun tidak diperkenankan menjadikan diantara
persetujuan tersebut bahwa kau akan mendapatkan kepemimpinan, karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam menolak tawaran Bani Amir yang hendak menolong
beliau melawan kaum kafir dengan persyaratan, kepemiminan akan menjadi milik
mereka setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Kami katakan, perkara
kepemimpinan ini bukanlah untuk mendapatkan harta rampasan (perang) dan bukan
pula untuk meraih ambisi dunia, namun adalah dalam rangka untuk menolong
Dienullah dan inilah yang terjadi pada permulaannya, mereka menegakkan
Dienullah pada daerahnya dan memurnikannya dari kesyirikan-kesyirikan yang ada,
kebaikan ini tidak berhenti hingga sampai sekarang, bahkan hingga hari ini. Bahkan
hingga generasi terakhir yang meniti jalannya para salaf.
PERTANYAAN
4: Apa pendapatmu berkenaan tentang pernyataan mereka bahwa (sistem) kerajaan
adalah terlarang?
JAWABAN:
Aku katakan, hal ini (sistem kerajaan), tentu saja sesuatu yang salah. Dimana
hukum dimiliki oleh seorang manusia sedangkan kerajaan berada di tangan Allah,
Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Walaupun demikian,
perserikatan (aliansi) secara prinsipil adalah dibolehkan, selama dalam rangka
untuk menolong Dienullah dan tathbiqus Syari’at (peneparan syariat). Dan
tentu saja mereka (HT) memperbolehkan hal ini, bahkan mereka memulai jika
negara yang bersama mereka terbentuk dengan cara tholabun nushroh
(mencari bantuan) dari sumber-sumber kekuatan baik kepada kepala suku, kepala
negara, atau lainnya dalam rangka membawa kemashlahatan dan menyingkirkan
kemudharatan[2].
PERTANYAAN
5: Bagaimana dengan pendapat bahwa sistem kerajaan itu sendiri adalah suatu hal
yang tak diperbolehkan. Apakah tidak mungkin membantah hal ini dengan fakta,
sebagai contoh, Dawud…”
JAWABAN :
Tidak, hal itu adalah fakta, tidak diizinkan untuk mewarisi tahta kerajaan
dalam Islam, namun seorang khalifah dipilih dari orang-orang yang cocok dengan
posisi tersebut dan dia dibaiat sumpah setia. Sistem pewarisan tahta kerajaan
adalah tidak boleh dan sistem kerajaan adalah tidak islami.
PERTANYAAN
6: Jadi, kita katakan bahwa pewarisan tahta kerajaan adalah haram?
PERTANYAAN
7 : Telah diterangkan, aku kira pada Muqoddimah al-Aqidah al-Wasithiyah atau
at-Thohawiyah, aku tak begitu yakin, bahwa Allah Ta’ala menawarkan
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam apakah beliau akan menjadi Nabi, raja
atau hamba dan utusan. Jadi, jika tidak benar untuk menjadi raja, maka…?
JAWABAN :
Perkara tersebut tidak mengandung sesuatu tentang hal ini (tawaran) sebagai
pewarisan tahta kerajaan, sedangkan salah satu yang terjadi dalam pelaksanaan
sistem kerajaan adalah adanya pewarisan dan kemudian berlangsung secara terus
menerus (sistem pewarisan ini). Hal ini merupakan perkara esensial saat ini
pada hampir seluruh kerajaan di dunia, bahwa seorang putra mewarisi tahta dari
ayahnya.
PERTANYAAN
8 : Kemudian bagaimana atau mengapa Allah Subhanahu wa Ta'ala menawarkan hal
ini (tawaran sebagai raja) kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam?
JAWABAN :
Allah Ta’ala menawarkan kepadanya bahwa ia akan menjadi raja, yaitu hanya
kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam saja. Namun bukannya kerajaan
yang nantinya akan diwariskan kepada keturunannya! Apakah kau faham? Pewarisan
itu bukanlah bagian dari tawaran Allah, bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
Sallam sendiri berkata, “Aku memilih untuk menjadi hamba dan utusannya”,
kemudian para khalifah yang menggantikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam setelah dipilih oleh pengganti yang bertanggung jawab dan adil (Ahul
Halli wal Aqdi) yaitu majelis syuro’, inilah yang dimaksud dengan khalifah
kenabian.
PERTANYAAN
9 : Beberapa anggota Hizbut Tahrir menuduh Syaikh Nashiruddin al-Albany tidak
faham Bahasa Arab dengan baik dengan benar?[4]
JAWABAN :
Tidak syak lagi ini adalah fitnah yang bathil! Semenjak Syaikh Nashir
–hafidhahullah- bergelut dengan ilmu hadits dan menghabiskan seluruh hidupnya
dengan hadits, yang merupakan inti sari Bahasa Arab, dan semenjak kami hidup
dengan beliau selama beberapa tahun, beliau memiliki lidah Arab walaupun beliau
bukan orang Arab, bahkan beliau adalah orang Albania. Arab itu berhubungan dengan bahasa, bukan ras dan suku bangsa.
Walhamdulillah, beliau adalah orang yang ahli tentang bahasa Arab, bahkan
beliau lebih berkompeten dalam berbahasa arab ketimbang Hizbut Tahrir.
PERTANYAAN
10 : Mereka mengatakan bahwa Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu bukanlah sahabat. Dan
sebagai dalil dari anggapan mereka ini, bahwa untuk memperoleh gelar sahabat
harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk bisa dikatakan sebagai sahabat.
Dari manakah mereka memperoleh dalil ini? Kemudian mereka mencontohkan dari
Said bin Musayyib, beliau berkata: “Kata sahabat adalah seseorang yang
bersama Rasulullah sedikitnya satu atau
dua tahun, dan turut berjihad bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam
sekurang-kurangnya satu atau dua pertempuran”. Jadi, seseorang yang
melaksanakan hal ini, maka dialah yang dikatakan sebagai sahabat.
JAWABAN :
Pertama, Mua’awiyah adalah seorang sahabat, walaupun kamu menggunakan
persyaratan mereka ataupun tidak, beliau tetap adalah seorang sahabat! yang
secara tekstual dikemukakan oleh para ulama’ yang telah menulis biografi beliau
radhiallahu ‘anhu.
Pertama,
beliau hidup dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam selama satu atau
dua tahun, bahkan lebih dari dua tahun, semenjak beliau masuk islam saat Fathul
Makkah yang ma’ruf diketahui terjadi pada tahun ke-8 Hijriah. Beliau juga salah
seorang yang menulis wahyu Rasulullah. Jadi berdasarkan syarat-syarat mereka,
beliau adalah seorang sahabat secara pasti.
Kedua,
definisi sahabat yang tepat adalah, “seseorang yang melihat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam walaupun hanya sekali dan ia meninggal dalam
keadaan muslim.” Definisi ini disepakati oleh para muhadditsin. Mu’awiyah
–rahimahullah wa ghofarahullah-, walaupun beliau melakukan kesalahan dengan
memerangi Ali dan menjadikan putranya sebagai para pewaris tahta. Na’am, beliau
memang telah melakukan kesalahan, namun hal ini tidak mengeluarkan beliau dari
sahabat nabi. Jika kau buka kitab, misalnya, ‘Asadul Ghabah’ karya Ibnul
Atsir, atau ‘Al-Isti’ab’ karya Ibnu Abdil Barr atau al-Ishabah fi
tamyizis shahaabah –buku-buku ini menceritakan tentang perihal sahabat-,
apakah kita temukan Mu’awiyah di dalamnya atau tidak? Jawabannya adalah kita
temukan beliau di dalamnya.
Beberapa orang dari mereka (penulis sirah) menjelaskan
bahwa Mu’awiyah adalah salah seorang penulis wahyu yang ‘adil terpercaya dan
beliau adalah pamannya kaum mukminin dari fihak ibu, karena saudarinya Ummu
Habibah adalah Ummul Mu’minin, dan sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam. Syaikhul Islam pernah ditanya, “Siapakah yang lebih baik, Umar bin
Abdul Aziz dengan keadilannya ataukah Mu’awiyah?” Kemudian, beliau menjawab,
“Bahkan sehari dari hari-harinya Mu’awiyah lebih baik daripada hari-harinya
umar dan keluarganya, persahabatannya dengan Rasulullah telah mencukupinya,
beliau adalah orang yang adil tanpa perlu penyelidikan, Allah ta’ala telah mepersaksikan
kemurahan hati mereka, mereka adalah orang-orang yang adil. Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah menetapkan kebaikan pada mereka, sehingga mereka tak perlu saksi
lagi terhadap keadilan mereka. Ini adalah cabang yang berangkat dengan sunnah.[5]”
PERTANYAAN
11 : Berkenaan tentang jenggot, mereka beranggapan, seorang muslim akan
mendapatkan pahala dengan memelihara jenggotnya namun tidak berdosa jika ia
tidak memeliharanya. Beberapa orang mengatakan, bahwa empat Imam Madzhab,
seperti Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa
memelihara jenggot adalah wajib hukumnya, sesungguhnya pendapat ini
tidak benar, karena mereka tidak pernah berpendapat demikian. Di sisi lain,
An-Nawawi, Ibnu Qudamah, Ibnul Hummam, Asy-Syaukanie, Qodhi Iyadl dan
lain-lain tidak pernah menyatakan bahwa
jenggot adalah wajib. Jadi, barang siapa yang beranggapan bahwa Imam Syafi’i,
Ibnu Hanbal ataupun Malik mengatakan jenggot itu wajib, maka mereka salah!!!
Dan mereka (Hizbut Tahrir) menantang untuk membuktikan dalilnya.
JAWABAN : Yang benar dari pendapat empat Imam Madzhab
pada kitab-kitab mereka, pada kitab klasik Hanafiyyah, kitab-kitab Syafi’iyyah,
perkataan Imam Ahmad dan Malik, bahwa jenggot itu wajib hukumnya[6], barangsiapa yang mencukurnya adalah seorang fasiq
Oleh : Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly
Maktabah abu Salma Al Atsary
http://dear.to/abusalma
[1] Beliau adalah al-Imam asy-Syaikh al-Mujaddid Muhammad
bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali, keturunan Bani Tamim yang paling
dermawan. Beliau dilahirkan di ‘Uyainah tahun 1115 H. Beliau hafal al-Qur’an
sebelum berusia 10 tahun dan beliau terkenal semasa kecilnya sebagai orang yang
taat, sholih lagi cerdas. Beliau belajar hadits kepada seorang Muhaddits
tersohor saat itu, Syaikh Muhammad Hayat as-Sindy Rahimahullah. Sepeninggal
ayahnya, beliau secara terang-terangan berda’wah kepada salafiyyah, mentauhidkan
Allah, mengingkari kemungkaran dan memerangi ahlul bid’ah dan quburiyyun.
Da’wah beliau terdengar oleh keluarga Alu Su’ud dan akhirnya didukung penguasa
dari keluarga Alu Su’ud, sehingga menjadi kuat dan menyebar ke seluruh pelosok
dunia. Beliau Rahimahullah wafat pada tahun 1206 H. dengan meninggalkan
kitab-kitab yang berfaidah dan banyak disyarh oleh para ulama
setelahnya, diantara karya beliau adalah : Kitabut Tauhid, Kasyfu Syubuhat,
Al-Ushuluts Tsalaatsah, al-Kabaair, asy-Syarhul Kabir, Mukhtashor Zaadul Ma’ad,
Mukhtashorul Inshaf, dan lain-lain. [Lihat al-Ushuluts Tsalatsah,
terj : Penjelasan 3 landasan Utama, Darul Haq, hal 8-10]
[2] Di dalam Manhaj Hizbit Tahrir fii taghyiir hal.
46, dikatakan : “Bahwasanya tholabun
Nushroh merupakan bagian dari thoriqoh yang harus diteladani. Apabila
masyarakat di sekitar para pengemban da’wah mengalami kondisi jumud, dan ketika
penganiayaan terhadap mereka semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu Hizbut
Tahrir telah menggabungkan tholabun nushroh dengan aktivitas dakwah
lainnya. Hizb meminta pertolongan tersebut kepada mereka yang memiliki
kemampuan. Tujuannya ada dua macam, yaitu : pertama, memperoleh himayah
sehingga dapat mengemban aktivitas dakwah dalam keadaan aman dan terlindung,
dan kedua, untuk mencapai kekuasaan dalam rangka menegakkan daulah khilafah dan
menerapkan kembali hukum-hukum berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.”
Dari manhaj Hizbut Tahrir di atas tampaklah bahwa tholabun
nushroh dalam rangka untuk menegakkan hukum Allah adalah suatu thoriqoh
yang tak dapat dipisahkan dari aktivitas da’wah, namun anehnya mereka
mengkritik apa yang dilakukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ketika da’wah
beliau didukung oleh keluarga Alu Su’ud. Sebab menurut mereka, Alu Su’ud turut
memerangi kesultanan Utsmaniyah. Padahal kesultanan Utsmaniyah yang shufiiyun
dan quburiyyun-lah yang memerangi da’wah tauhid ini, dimana pada zaman tersebut
bid’ah, syirik dan khurofat menjadi bagian hidup masyarakat, dan mereka dengan
didorong taqlid buta terhadap ulama’ mereka dan ta’ashshub madzhabiyyah,
menghalang-halangi da’wah barokah ini, sehingga kaum kuffar turut ikut ambil
bagian dalam perkara ini, menyebarkan fitnah wahaby yang langsung diterima
mentah-mentah oleh ulama’ suu’ yang sesat dan menyesatkan, yakni para
ulama penganjur kesyirikan dan kebid’ahan, sehingga sampai saat ini nama Wahaby
masih menjadi fobia bagi masyarakat muslim yang nota bene banyak yang
berlumuran kesyirikan dan kebid’ahan. Nas’alullaha salaamah wal ‘aafiyah.
[3] Dalam hal ini ada beberapa tafshil (perincian) yang
harus diberikan. Dan pernyataan beliau ini juga tidak menunjukkan bolehnya
memberontak kepada penguasa kaum muslimin. Bahkan, suatu fakta yang tak dapat
dipungkiri pula, bahwa kesultanan Utsmani yang selalu dielu-elukan oleh HT
termasuk bagian dari sistem pewarisan kekuasaan terhadap keturunan (Bani).
Demikian pula dengan bani Abbasiyah, Umawiyah dan selainnya. Namun tidak ada
para ulama terdahulu dan sekarang yang menyatakan bahwa daulah mereka bukan
daulah islamiyyah. Kerajaan Arab Saudi tetaplah dikatakan sebagai daulah
islamiyyah walaupun belum bisa dikatakan sebagai daulah khilafah islamiyyah dan
meskipun sistem kerajaan adalah tidak masyru’ di dalam islam.
[4] Inilah kebanyakan yang dapat mereka lakukan, menuduh dan
menfitnah tanpa bayan. Saya pernah dahulu bermajelis dengan mereka, dan
diantara pendapat mereka tatkala disebutkan nama salafy, mereka mengatakan,
Salafy adalah jama’ah boneka Raja fahd, Salafy adalah jama’ah pemecah belah,
salafy adalah antek-antek Yahudi, dan lain-lain. Jadi, tatkala mereka dikritik
dan mereka tak mampu menjawab secara ilmiyah, maka senjata tuduhan dan fitnah
seperti inilah yang mereka gunakan dan mereka sebarkan ke kalangan awwam
mereka. Sehingga banyak awwam Hizbut Tahrir termasuk saya dahulu berpandangan
demikian terhadap salafiyyun dan wahabiyun. Falhamdulillah Allah memberi hidayah-Nya kepada saya dan akhirnya
dengan bimbingan Allah tersingkaplah hakikat pemikiran-pemikiran HT ini setelah
beberapa lama saya bergelut di dalamnya.
[5] Al-Khatib al-Baghdadi berkata : “Ke’adalahan
sahabat itu sudah merupakan ketetapan yang dimaklumi, karena Allah menetapkan
ke’adalahannya, dan menggabarkan kesucian mereka dan telah menjadikan
mereka sebagai manusia terpilih di dalam nash al-Qur’an” (al-Kifayah fi ‘Ilmi
Riwayah hal 93)
Ibnu Sholah berkata : “Sesungguhnya ummat Islam
bersepakat menta’dil semua sahabat termasuk orang-orang yang terkena
dalam fitnah” (Ma’rifat Ulumil hadits hal 428)
Ibnu Hajar al-Aqolany berkata : “Ahlus Sunnah telah
bersepakat bahwa semua sahabat adalah ‘adil dan tak ada yang menolaknya
melainkan segelintir ahli bid’ah yang menyimpang.” (Al-Ishabah I hal. 9)
[6] Jenggot adalah wajib menurut al-Qur’an,
as-Sunnah dan pendapat jumhur ulama’ salaf dan madzahib. Di
sini akan saya nukilkan sebagian dalil-dalilnya :
·
Al-Qur’an al-Karim :
Allah Ta’ala berfirman : “(Syaithan berkata): Dan akan kusuruh
mereka (merubah ciptaan Allah) lalu mereka benar-benar merubahnya.” (an-Nisa’
: 119).
Berkata
asy-Syaikh at-Tahanuwi dalam tafsirnya : “Sesungguhnya mencukur jenggot
termasuk merubah ciptaan Allah”.
Allah Ta’ala berfirman : “Dan apa-apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka Ambillah dan apa-apa yang dilarangnya kepadamu maka
tinggalkanlah” (al-Hasyr : 7)
Rasulullah memerintahkan untuk memelihara
jenggot dan memangkas kumis.
·
Al-Hadits asy-Syarif :
Dari Ibnu Umar Ra, Rasulullah saw bersabda : “Berbedalah kalian
dengan kaum musyrikin, pangkaslah kumismu dan biarkanlah jenggotmu”.
(Muttafaq ‘alaihi, lihat Irwa’ul Ghalil hal. 77)
Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah saw bersabda : “potonglah
kumis kalian dan peliharalah jenggot kalian, selisihilah orang-orang majusi.”
(HR. Muslim, Baihaqi, Ahmad, dan selainnya. Lihat Hijab Mar’atil Muslimah
hal 95)
Dari
Abu Umamah, bersabda Rasulullah saw : “Pendekkan kumis kalian dan biarkan
jenggot kalian, selisihilah ahlul kitab.”
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya.
Perhatikan seluruh shighot atau bentuk kalimat pada hadits di atas
berupa fi’il amr (kalimat perintah), di dalam ushul fiqh dikatakan : al-Ashlul
fil amri yufiidul wujuub illa idza jaat qorinatu tashriful lafdho ‘an
dhoohirihi (Hukum asal dari perintah adalah wajib kecuali jika datang
sebuah indikasi yang memalingkan teks dari dhohirnya). Lihat Irsyadul Fuhul
hal 101-105, Tafsirun Nushuhsh fil Fiqhil Islamiy II/264-265 karya DR.
Muhammad Adib Sholih dan Mudzakiratu Ushulul Fiqh karya Imam Syinqithy
hal. 191-192)
·
Aqwal (ucapan) para ulama’
:
Jumhur ulama’ berpendapat akan haramnya
mencukur jenggot, Diantaranya :
-
Al-Imam
Ibnu Hazm adh-Dhahiri berkata : “telah bersepakat para imam bahwa mencukur
jenggot adalah tidak boleh (haram).” (al-Muhalla II/189)
-
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata : “Haram hukumnya mencukur
jenggot” (al-Ikhthiyarat al-‘Ilmiyyah hal. 6)
-
Ibnu ‘Abidin al-Hanafi berkata : “Diharamkan atas seorang
laki-laki memotong jenggotnya yakni mencukurnya” (Raddul Mukhtar II/418)
-
Imam Al-Adawi al-Malilki berkata : “telah dinukil dari Malik
tentang dibencinya mencukur apa-apa yang ada di bawah bibir, sesungguhnya ini
adalah perbuatannya orang majusi.” (Hasyiah al-Adawi ‘ala risalah Ibni Abi
Zaid II/411)
-
Imam Ibnu Abdil Barr al-Maliki juga berkata di dalam at-Tamhid
: “Haram mencukur jenggot, tidaklah pelakunya melainkan ia adalah seorang
laki-laki yang banci.” (Adillah Tahrim Halqul Liha hal 96)
-
Syaikh Ahmad bin Qoshim asy-Syafi’i berkata, “berkata Ibnu Rif’ah
dalam Hasyiatu al-Kaafiyah, sesungguhnya Imam Syafi’I berkata di dalam al-Umm
tentang haramnya mencukur jenggot, demikian pula pendapat az-Zarkasyi dan
al-Hulaimi di dalam Syuabul Iman.” (Adillah Tahrim Halqul Liha
hal 96)
-
Imam Safarini al-Hambali berkata, “disandarkan pada madzhab
(Hanabilah) tentang haramnya mencukur jenggot” (Ghita’ul Albaab I/376)
Dan masih banyak
lagi para ulama’ yang berpendapat tentang haramnya mencukur jenggot, baik ulama
salaf terdahulu maupun ulama kholaf kontemporer, seperti Syaikh Abdul Jalil
Isa, Syaikh Ali Mahfudh, Syaikh Ibnu Bazz, Syaikh al-Albani, Syaikh Muhammad
Sulthon al-Ma’shumi, Syaikh Ahmad bin Abdurrahman al-Banna, Syaikh Abu Bakar
al-Jazairi, Syaikh al-Kandahlawi, Syaikh Abdurrahman al-Qoshim, Syaikh Ismail
al-Anshori, dan lain lain.
Bagi yang ingin
memperluas tentang pembahasan ini bisa merujuk ke dalam kitab : Hukmud Dien
fil lihyah wat tadkhiin karya Syaikh Ali Hasan al-Halabi dan Tahriimu
halqul lihaa karya Syaikh Muhammad Qosim al-Hanbali, ta’liq Syaikh Ismail
al-Anshori.
Komentar
Posting Komentar