Tanya Jawab Seputar Hizbut Tahrir (Bag 2)
“Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu yang merubah keadaan
mereka sendiri.” (ar-Ra'du 13:11)
Jika kita
berangan-angan bahwa pemerintahan akan berubah, sementara masyarakatnya sendiri
tidak beriman terhadap Dien mereka, yang akan terjadi adalah masyarakatnya
sendiri yang akan melakukan revolusi (pemberontakan), sebagaimana yang telah
terjadi. Sebagai contoh, akhir-akhir ini di Rusia, Negara ini didirikan dengan
cara kekuatan tirani dan penindasan terhadap rakyatnya melalui pembunuhan, dan
lain sebagainya. Kita akan mendapatkan bahwa masyarakatnya tidak akan mendukung
pemerintahannya, bahkan melawannya. Memang, hukum Allah harus ditegakkan di
atas permukaan bumi, amanah ini harus diemban dan dijaga oleh orang-orang
mu’min. “Dialah Allah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan
para mu’minin”. (al-Anfal 8:62). Kita tidak menunggu Timur maupun Barat
menolong Dien ini, namun ummat ini sendiri yang harus menjadi pengembannya dan
mempertahankan Dien ini.
Inilah
gambaran singkat tentang Hizbut Tahrir, dan tentunya mereka berdebat tentang
Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, tanpa Kitab, dan tanpa cahaya. Kita telah
sering duduk dengan mereka, diantara yang pernah kami utarakan kepada salah
seorang dari mereka ketika mendikusikan khobarul ahad adalah, kita mengatakan “Telah
jelas atasmu bahwa yang haq adalah wajib menerima khobarul ahad, jadi apakah
kau akan menerimanya?”, dia menjawab, “Tidak, karena aku harus tetap
berpegang dengan pandangan partai.” Mereka membuat peraturan, bahwa jika
pandangan partai berlawanan dengan pandanganmu, kamu harus berpegang dengan
pandangan partai, tidak dengan pandanganmu sendiri[1].
Maka kami katakan, lantas, apa hasil dari diskusi
denganmu ini? Jika engkau tidak mau menyerahkan pandangan partai secara pasrah
kepada hujjah yang nyata. Mereka menetapkan suatu peraturan, yakni seseorang
harus mempertahankan pendapat Imam atau negerinya. Adapun jika menyangkut
masalah dosa, dimana pemerintah, kholifah ataupun kelompok bisa berlaku benar
bisa juga salah, maka jika suatu kesalahan yang dilakukan, bagaimana bisa ia
tetap bertahan dengannya padahal ia mengetahui bahwa hal itu haram?!.
Bayangkan,
sebagai contoh, bahwa ada suatu pemerintah yang bermadzhab Hanafiyyah yang
berpendapat bahwa meminum sedikit alkohol atau dalam jumlah yang tidak sampai
memabukkan adalah boleh, namun yang dilarang adalah jika berlebihan sehingga
memabukkan. Apakah seseorang dalam hal ini harus berpegang dengan pendapat
imamnya? Atau, contoh lain, Imamnya berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk
sebagaimana menimpa Imam Ahmad, apakah lantas ia kemudian harus menerima
pendapat imamnya?? Dan praktek beliau (Imam Ahmad) adalah berlawanan dengan hal
ini.
Demikianlah
ulasan singkat tentang Hizbut Tahrir, mereka tidaklah mengikuti islam (secara
kaafah) namun hanya mengemban ide-ide islam saja, mereka memiliki
pendapat-pendapat yang aneh (dan bathil)[2],
Sebagai contoh, mereka tidak memerintahkan
isteri-isteri mereka untuk berpakaian secara islami[3], dikarenakan mereka berpandangan bahwa kaum pria tidak
memiliki otoritas terhadap wanita sampai tegaknya khilafah. Tentu saja hal ini
menyelisihi hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, dimana seorang lelaki harus
berupaya keras menyelamatkan keluarganya dari api neraka, “Wahai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim 66:6)
PERTANYAAN
1: Mereka mengatakan, “Aku menerima hadits (ahad) dalam Bukhary adalah shahih,
namun aku tidak mengimaninya.” Apakah sebaiknya jawaban dan sikap kita
terhadap orang seperti ini?
JAWABAN:
Teks perkataan mereka tersebut terdapat dalam kitab mereka ad-Dusiyah[4] mengenai hadits (ahad) tersebut. Sebagai contohnya
adalah hadits berikut, ”Ketika kamu selesai dari tasyahud akhir, ucapkanlah
: ‘Ya Allah aku berlindung kepadamu dari siksa kubur dan siksa api neraka dan
aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati dan fitnah al-Masih
ad-Dajjal.’” Mereka mengatakan, ‘Aku mengamalkan hadits ini sebagai ilmu,
oleh karena itu kami mengucapkan do’a tersebut, namun kami tidak mengimani
(berita/kandungannya)!?” hal ini sungguh pertentangan yang gila!
Bagaimana mungkin engkau membenarkan/menetapkan suatu pernyataan, namun engkau
tidak meyakininya/mengimaninya? Hal ini sungguh tidak rasional/tidak masuk
akal! Seolah-olah engkau mengatakan, ‘Aku mengucapkannya dengan lisanku namun
tidak aku imani dengan hati’. Mereka tidak mengimani adanya siksa kubur, mereka
tidak mengimaninya namun membenarkannya!!!
PERTANYAAN
2: Ada hadits shahih tentang siksa kubur yang bukan ahad (Mutawatir).
JAWABAN :
Tentu saja mereka tidak mempercayai hadits yang mutawatir ma’nawiy. Mutawatir
dalam ilmu hadits ada dua kategori, yaitu:
i)
Mutawatir Lafdhiy (yang lafadhnya mutawatir), seperti hadits, “Barang siapa
yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya di
atas api neraka.” dan
ii)
Mutawatir Ma’nawiy (yang lafadhnya berlainan namun maknanya sama) seperti
hadits turunnya Isa al-masih ‘alaihi salam, banyak hadits yang memberitakannya
dengan tidak satu lafadh, namun mereka bersepakat akan satu fakta tunggal,
yaitu turunnya Isa al-masih. Juga hadits munculnya Dajjal, munculnya Imam Mahdi
‘alaihi salam, dan semua hadits tentang hal ini adalah ahad menurut mereka,
bahkan walaupun jika mereka bersepakat tentang indera dan maknanya asalkan
selama hadits ini tidak diriwayatkan dengan lafadh tunggal (ahad).
Oleh karena itu semua sunnah menurut mereka adalah ahad
kecuali sebahagian kecilnya saja. Namun, jika kita tanyakan kepada mereka,
‘Apakah yang mutawatir darinya?’, mereka tidak bisa menjawabnya. Maka,
pernyataan ‘kita membenarkan namun kita tidak mengimani’ adalah benar-benar
suatu pernyataan yang kontradiktif dan mustahil. Sebagaimana ucapan seorang
penyair : “Yang terburuk dari kemustahilan adalah membawa dua perkara yang
berlawanan sekaligus dalam satu waktu”. Juga sebagaimana perkataan,
‘sekarang malam dan siang’ yang diucapkan pada satu waktu, hal ini jelas-jelas
tidak mungkin!! ‘Benda ini hidup dan mati’, ‘Kau benarkan dan tidak kau imani’,
sedangkan I’tiqod adalah pembenaran secara pasti, sebagaimana ucapan mereka
sendiri, “I’tiqod adalah pembenaran secara pasti sesuai dengan kenyataan di
atas bukti dan dalil yang jelas”. Lantas, bagaimana mungkin engkau
mengatakan bahwa engkau membenarkan kemudian kau katakan juga bahwa kau tak
mengimaninya secara pasti. Jadi pernyataanmu ini bukan pembenaran, melainkan
hanyalah keraguan dan kebimbangan.”
Mereka
berupaya menggunakan sebagai hujjah mengenai hal ini, bahwa khobarul ahad hanya
membuahkan dhon belaka, dengan menukil,
“Mereka
tidaklah mengikuti melainkan hanya persangkaan (dhonn) dan hawa nafsu dan
sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” (an-Najm 53:23)
“Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan (dhonn), sedangkan sesungguhnya dhonn
itu tidaklah berfaidah sedikitpun terhadap mereka” (an-Najm 53:28).
Padahal,
dzhon yang disebutkan pada ayat ini adalah dhon yang tidak benar atau tidak
terbukti, bukanlah (dhon) sebagai suatu hal yang pasti. Hal ini ditunjukkan
oleh perkataan mereka bahwa khobarul ahad, adalah hujjah bagi hukum syari’at
dan jika hal itu adalah dhan yang bersifat spekulatif tidak benar, maka mereka
tidak akan beribadah kepada Allah dengannya, dikarenakan dhan tersebut hanyalah
berupa khayalan dan keragu-raguan. Sedangkan dhan yang benar merupakan dhan
pada tingkat yakin. Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa keyakinan itu
bertingkat-tingkat, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
“janganlah
begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), janganlah begitu,
kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan
pengetahuan yang yakin (‘ilmul yaqin).” (at-Takatsur 102:3-5)
Tingkat
pengetahuan yang dapat dicapai dari ayat ini adalah menjadi yakin.
“Niscaya
kamu benar-benar akan melihat Neraka Jahim, dan sesungguhnya kamu akan
melihatnya dengan ‘ainul Yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu
tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia)” (at-Takatsur
102:6-8)
Jadi,
antara ‘Ilmul Yaqin dengan ‘Ainul Yaqin merupakan sebuah tingkatan, dimana
Allah menyebutkan pula di akhir Surat al-Haaqah[6], Haqqul Yaqin.
Dari
ayat-ayat di atas, kita memiliki:
i) ‘Ilmul Yaqin
ii) Haqqul Yaqin dan
iii) ‘Ainul Yaqin.
Keseluruhan
darinya adalah al-Yaqin. Jadi, apakah al-Yaqin ini sesuatu yang bersendirian?
Tidak! Bahkan yakin ini adalah sesuatu yang bertingkat-tingkat, yakin memiliki
tingkatan-tingkatan (yang berbeda)! Namun akarnya adalah satu, yaitu ilmu
pengetahuan. Jadi, hadits nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang telah memenuhi
5 syarat shahihnya hadits, yaitu:
i) Silsilah/rantai periwayatan bersambung oleh perawi yang
ii) tsiqoh (terpercaya keadilannya)
iii) dhabit (cerdas atau hafalannya kuat)
iv) tidak syadz (bertentangan dengan yang lebih tsiqah) dan
v) tidak memiliki illat (penyakit/kelemahan yang tersembunyi)
Syarat-syarat
inilah yang melindungi hadits dari kesalahan dan kealpaan. Kita katakan, memang
bisa jadi seorang perawi itu lupa atau salah, namun kita bisa menjadi yakin
dalam perkara ini (yaitu setelah terpenuhinya kelima syarat tadi), bahwa perawi
ini tidak lupa dikarenakan ia adalah seorang yang dlabit dan tsiqoh pada
diennya lagi terpercaya[7],
Serta diriwayatkan darinya oleh orang-orang sepertinya
yang terpercaya dan memiliki hafalan yang kuat lagi tidak melupakan sesuatu
apapun, juga tidak bertentangan dengan hadits yang lainnya dan tak memiliki
‘illat. Maka kita bisa menjamin bahwa perawi tersebut tidak lupa, bukan
dikarenakan kita menganggapnya sempurna (ma’shum), namun dikarenakan kita telah
memeriksa dan mengeceknya[8]. Sehingga persyaratan ini menghasilkan ilmu (yakin)
kepada kita. Walaupun seandainya kita berkata, hadits ini hanya membuahkan
dhan, namun dhan yang manakah yang dimaksud? Dhon yang yakin lagi benar ataukah
dhon yang salah. Tentulah mereka akan mengatakan dhon yang benar! Kemudian kita
katakan, Khobar ini adalah sumber bagi aqidah sebagaimana dalam Firman Allah :
“yaitu
orang-orang yang meyakini (dhon) bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa
mereka akan kembali pada-Nya.” (al-Baqoroh 2:46). Kata dhon di sini
digunakan sebagai makna keyakinan/keimanan dari salah satu rukun iman, yaitu
iman kepada hari akhir. Allah Ta’ala berfirman :
‘Sesungguhnya
aku yakin (dhonn), bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.”
(al-Haaqah 69:20).
(Penggunaan
istilah dzhon) pada ayat ini dinyatakan sebagai pujian terhadap mereka,
orang-orang mu’min.
Demikian
pula pada ayat, “Serta mereka telah mengetahui (dhonn), bahwa tidak ada
tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.” (at-Taubah
9:11) pada kisah orang-orang yang ditangguhkan (taubatnya). Di sini dhon juga
bermakna keyakinan/I’tiqod, jadi ia bermakna iman.
Sebagai
ringkasan, mereka mencampur aduk dan inkonsisten, anda dapat melihat salah
seorang dari mereka, misalnya, mencukur habis jenggot mereka, berpakaian dengan
pakaian kafir, tidak bertingkah laku dengan hukum-hukum islam pada keseharian
hidupnya. Dia mendukung ide-ide islam. Islam menurutnya adalah sebuah cita-cita
yang harus digembar-gemborkannya. Padahal yang diperlukan Islam adalah
mengikuti Islam (secara kaafah), tidak hanya menggembar-gemborkan ide-ide islam
semata. “Sungguh besar kebencian di sisi Allah kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaaf 61:3)
Oleh : Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly
Maktabah abu Salma Al Atsary
http://dear.to/abusalma
[1] Dalam buku Mengenal Hizbut Tahrir, terbitan Pustakah
Thoriqul Izzah, hal 21 dikatakan tentang keanggotaan Hizbut Tahrir, “Cara
mengikat individu-individu di dalam hizb adalah dengan memeluk aqidah islam,
matang dalam tsaqofah hizb dan mengambil serta menetapkan ide-ide dan
pendapat hizb”
[2] Sesungguhnya pendapat-pendapat Hizbut Tahrir yang ganjil
amatlah banyak sekali dan bertebaran di dalam kitab-kitab mereka. Di
sini saya sebutkan beberapa diantaranya :
-
Hizbut Tahrir memperbolehkan berjabat tangan lelaki dan perempuan
yang bukan mahram. Taqiyuddin berkata dalam Nidhomul Ijtima’iy fil islam
(Sistem pergaulan dalam Islam, Pustaka Thoriqul Izzah, hal. 67), “Seorang pria
pada dasarnya boleh menjabat tangan seorang wanita, demikian pula sebaliknya,
seorang wanita boleh menjabat tangan seorang pria tanpa ada penghalang di
antara keduanya.” Hal ini juga diperkuat dengan nusyrah su’al jawab mereka
no 24/Rabi’ul Awwal/1390 atau 29/5/1970, no 8/Muharam/1390 atau 16/3/1970 dan nusyroh
al-ajwibah wal as^ilah tanggal 26/4/1970.
-
Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang wajah wanita, karena
menurut mereka wajah tidak termasuk aurot. Taqiyuddin berkata dalam Sistem pergaulan dalam Islam
hal 61, “Allah Ta’ala berfirman : ‘Katakanlah kepada mukmin laki-laki hendaklah
mereka menundukkan pandangan mereka.’ (an-Nur (24) : 30), maksudnya tentu
adalah menundukkan pandangan terhadap wanita pada selain wajah dan kedua
telapak tangan, sebab memandang wajah dan telapak tangan adalah mubah.”
-
Hizbut Tahrir menghalalkan musik dan nyanyian (walau diiringi alat
musik) sebagaimana dalam Nusyrah jawab wa su’al no 9 (20/Safar/1390 atau
26/4/1970), “Suara wanita tidak termasuk aurot dan nyanyian mubah hukumnya
serta mendengarkannya mubah. Adapun
hadits-hadits yang warid mengenai larangan musik adalah tidak shohih haditsnya.
Yang benar adalah musik tidak haram dan hadits-hadits yang memperbolehkan musik
adalah shohih”.
Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat aneh Hizbut
Tahrir lainnya. Sungguh suatu musibah besar bagi syabab islam yang tersamarkan
dengan keganjilan-keganjilan fiqhiyyah seperti ini…
[3] Contohnya adalah Hizbut Tahrir memperbolehkan wanita
berpakaian dengan celana, sebagaimana dalam nusyrah jawab wa su’al (2/Muharam/1392
atau 27/2/1972M). Akhowat Hizbut Tahrir juga terkenal dengan pakaiannya yang
bercorak dan bermotif serta berwarna-warni menarik perhatian, hal ini jelas
menyelisihi hikmah disyariatkannya jilbab muslimah.
[4] Ad-Dusiyah hal
6, teks lengkapnya adalah sebagai berikut ; “Dari Abi Hurairah Radhiallahu
'anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam: “Jika kamu
selesai dari tasyahud akhir, memohonlah engkau perlindungan kepada Allah dari 4
hal, dari adzab jahannam… dst” dan hadits dari Aisyah Radhiallahu 'anha,
berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berdo’a dalam sholatnya, “Ya
Allah aku memohonh kepada-Mu perkindungan dari adzab kubur…dst”. Dua hadits
ini adalah khobar ahad, keduanya berisi anjuran mengamalkan do’a ini setelah
selesai tasyahud, sehingga termasuk sunnah berdo’a dengan do’a ini setelah
selesai tasyahud. Adapun berita yang terkandung di dalamnya boleh dibenarkan
namun haram diyakini secara pasti kebenarannya!!! Yaitu beri’tiqod
dengan berita dalam hadits ahad atau dengan dalil dhonniy. Namun jika
khobar tersebut mutawattir, wajib beri’tiqod dengannya.”
Syaikh Salim al-Hilaly mengomentari pernyataan ini dalam al-Jamaa’at
hal. 317, sebagai berikut : “Ucapan tersebut adalah pertentangan yang
membingungkan! Karena mereka memisahkan antara iman dengan I’tiqod, dan mereka
menduga bahwa I’tiqod merupakan tingkatan keimanan setelah iman, dan mereka
tidaklah mengetahui bahwa I’tiqod adalah asas iman. Jika kalian bukan termasuk
orang-orang yang beri’tiqod (Mu’taqidin) maka pastilah kalian bukanlah
termasuk orang-orang yang beriman (mu’minin), karena iman tidaklah akan
berfaidah tanpa I’tiqod.”
[5] Sebagaimana ucapan Fathi Muhammad Salim dalam al-Istidlal
bidh dhonni fil aqiidah (Terj: Hadits Ahad Dalam Aqidah, Pustaka Thoriqul
Izzah, hal. 242), “Semua hadits ini (hadits yang dinukilnya dalam pembahasan
tentang ijma’) adalah ahad, tidak sampai tingkat mutawatir, sehingga tidak
berfaidah yakin dan qoth’iy. Jadi, tidak sah untuk hujjah bahwa ijma’ ummat
menjadi dalil syar’iy, padahal menyangkut masalah ushul. Jika ada orang yang
mengatakan bahwa hadits-hadits tersebut mutawattir ma’nawy, maka kami
katakan kepadanya bahwa mutawatir ma’nawy itu tidak ada.”
[6] Yakni QS al-Haaqah (69) ayat 51 yang berbunyi : “Dan
sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar sesuatu yang diyakini (lahaqqul yaqin)”
[7] Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil, MA dalam Asyrotus
sa’ah (Tanda-tanda hari kiamat, Pustaka Mantiq, hal 41) mengatakan. :
“Adapun kelalaian seorang rawi maka hadits ahad yang diriwayatkan harus
ditolak, sebab rawi harus terpercaya dan dhabit, maka hadits yang sholih tidak
boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku,
bahwa seorang rawi terpercaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh
ditolak haditsnya.”
[8] Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasik membawa
berita, maka tabayunlah (cek dan recek)” (al-Hujurat : 6). Imam al-Albany
Rahimahullah berkata : “Dalam riwayat lain dibaca ‘tatsabbutlah’, hal ini
menunjukkan bahwa jika yang membawa berita itu adalah orang yang adil, maka
hujjah telah tegak. Tidak lagi wajib untuk diperiksa namun langsung diterima.
Oleh karena itu Ibnul Qoyyim bertkata dalam I’lamul Muwaqqi’in 2/394,
“Hal ini ditunjukkan secara pasti diterimanya khobar ahad, karena tidak lagi
membutuhkan klarifikasi. Jika khobar tadi tidak memberi faidah ilmu tentunya
harus diklarifikasi supaya memberi faidah ilmu.” (al-Hadits hujjatun
binafsiha, hal. 57). Dari penjelasan ini, teranglah bahwa hadits yang telah
diperiksa dan memenuhi syarat keshahihan haidts membuahkan faidah ‘ilmu yakin.
Komentar
Posting Komentar