Dusta Membawa Kepada Kejahatan Dan Jujur Membawa Kepada Kebaikan (bagian 2)


Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله 

Ketahuilah, bahwa kata “اَلصِّدْقُ” (jujur) bisa digunakan untuk beberapa makna : 

Pertama, jujur dalam perkataan. 

Setiap hamba harus menjaga kata-katanya, tidak berbicara kecuali dengan jujur. 

Jujur ini adalah bentuk kejujuran yang paling jelas dan paling dikenal. Seorang hamba hendaknya menjauhi kata-kata bermakna ganda, karena ia saudara tiri dari dusta kecuali dalam keadaan darurat dan dituntut demi kemaslahatan. 

Kedua: Jujur dalam niat dan keinginan. Ini kembali kepada ikhlas. 

Apabila amalnya tercampuri oleh sebagian ambisi jiwa (terhadap dunia), maka kejujuran niatnya batal, bisa jadi dia dusta sebagaimana dalam hadits tentang tiga orang, yaitu orang berilmu, qâri’, dan mujâhid, manakala qâri’ berkata, “Aku membaca al-Qur’ân karena-Mu.” 

Allâh Azza wa Jalla menolaknya dan mengatakan bahwa dia dusta dalam niat dan keinginannya bukan dalam bacaannya, demikian juga kedua temannya yaitu orang yang berilmu dan mujâhid. 

Ketiga: Jujur dalam tekad dan jujur memenuhinya. 

Untuk yang pertama, misalnya seseorang mengatakan, “Bila Allâh memberiku harta, maka aku akan menyedekahkannya seluruhnya.” Ini adalah tekad yang bisa jadi jujur dan bisa tidak. 

Untuk yang kedua seperti jujur dalam tekad. Jiwa mudah berjanji, karena ia memang tidak sulit  bila hakikat-hakikat terwujud, tekad terbuka dan hawa nafsu menguasai, karena itu Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ  

Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allâh … [Al-Ahzâb/33:23] 

Keempat: Jujur dalam amal perbuatan, yaitu antara batin dan lahirnya sama, sehingga amal-amal lahirnya misalnya khusyu’ tidak menunjukkan sesuatu padahal batinnya berbeda. 

Kelima: Jujur dalam kedudukan-kedudukan agama. 

Ini adalah derajat tertinggi, seperti jujur dalam takut dan berharap, zuhûd dan ridha, cinta dan tawakkal (kepada Allâh Azza wa Jalla ). 

Karena perkara-perkara ini memiliki dasar pijakan, memiliki tujuan-tujuan juga hakikat. Orang yang jujur yang sebenarnya adalah orang yang meraih hakikatnya.[3] 

Jika seseorang berlaku jujur, dan membiasakan lisannya untuk selalu jujur, maka itu akan membawanya kepada kebaikan. Dan kebaikan akan mengantarkannya ke Surga. 

2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 , وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا   

Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur Yaitu orang yang selalu berlaku jujur dalam perbuatan dan perkataannya, membiasakannya dan bersungguh-sungguh untuk berlaku jujur, maka Allâh Azza wa Jalla akan mencatat bahwa dia orang jujur. 

Orang-orang yang jujur itu memiliki kedudukan tinggi. Dia berada setelah kedudukan para Nabi, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا 

Dan barangsiapa menaati Allâh dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allâh, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An-Nisâ’/4:69] 

Maka orang yang selalu berlaku jujur akan dicatat di sisi Allâh sebagai shiddiq (suka jujur). 

Dan telah diketahui, bahwa kejujuran itu derajat yang tinggi yang tidak dapat dicapai kecuali oleh segelintir manusia. 

3. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : 

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ   

Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang dari perbuatan dusta. 

Ini mencakup dusta dalam segala sesuatu, jadi tidak benar orang yang mengatakan, “Berdusta itu jika tidak menimbulkan bahaya untuk orang lain maka tidak mengapa.” Ini adalah perkataan yang bathil, karena tidak ada nash yang menunjukkan perkataan tersebut. 

Tetapi yang ada adalah nash yang mengharamkan perbuatan dusta secara mutlak.[4] 

Berdusta juga akan merusak pengetahuanmu dan orang lain tentang sesuatu. Karena seorang pendusta itu menjadikan yang tidak ada menjadi ada, yang ada menjadi tidak ada, yang benar menjadi bathil, yang bathil menjadi benar, kebaikan jadi kejahatan, kejahatan jadi kebaikan. 

Seorang yang berdusta itu telah berpaling dari kebenaran yang ada, menjadi ketiadaan, dan berpengaruh kepada kebathilan. Jika perbuatan-perbuatan itu telah merusaknya dan kebohongan telah mempengaruhinya, maka hatinya menjadi hati yang dusta dari lisannya. 

Dia tidak bisa mengambil manfaat dengan lisannya dan juga amalan-amalannya. Karena itulah berdusta adalah pokoknya kejahatan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ 

Sesungguhnya dusta membawa  seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka Yang pertama kali terpengaruh oleh perbuatan dusta dalam jiwa adalah lisan, dan itu akan merusaknya. 

Kemudian berpengaruh kepada anggota badan dan merusak amalan-amalannya sebagaimana dusta itu merusak lisan dalam perkataan-perkataannya. 

Sehingga ia berdusta dalam perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Akibatnya, dia rusak, penyakitnya terus berlanjut sampai binasa. 

Jika Allâh Azza wa Jalla tidak memperbaikinya dengan obat kejujuran, Dia akan mencabut kejujuran tersebut dari hatinya.[5] 

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa berdusta itu membawa kepada kejahatan. 

Yaitu, jika seseorang berdusta dalam perkataannya, maka dia akan terus dalam keadaan seperti itu sampai akhirnya berbuat jahat. Wal ‘iyâdzu billâh. 

Dan itu telah keluar dari ketaatan, termasuk kedurhakaan dan maksiat. 

Berbuat jahat menyeret seseorang ke Neraka, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

 كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ ﴿٧﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّينٌ ﴿٨﴾ كِتَابٌ مَرْقُومٌ ﴿٩﴾ وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ ﴿١٠﴾الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ 

Sekali-kali jangan begitu! Sesungguhnya catatan orang yang durhaka benar-benar tersimpan dalam Sijjin. 

Dan tahukah engkau apakah Sijjin itu? (Yaitu) kitab yang berisi catatan (amal). Celakalah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendusta kan! (yaitu) orang-orang yang mendustakannya (hari pembalasan).” [Al-Muthaffifiin/83:7-11] 

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

 وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا   

Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta Kita berlindung kepada Allâh dari termasuk orang-orang yang suka berdusta. 

Karena berdusta itu jika seseorang terbiasa melakukannya, maka dia akan berdusta dalam segala hal. Dan dia akan dicatat di sisi Allâh sebagai kadzdzâb (orang yang banyak berdusta).[6] 

Karena inilah, asal amalan hati semuanya adalah dari kejujuran, dan lawannya seperti riya’, ujub, sombong, berbangga diri, lemah, malas, penakut, dan lainnya asalnya adalah dari perbuatan dusta. 

Maka semua amalan shalih yang tampak maupun yang tersembunyi asalnya dari kejujuran. Dan semua amalan jelek yang tampak maupun yang tersembunyi asalnya dari perbuatan dusta. 

Allâh Azza wa Jalla akan menghukum orang yang suka berdusta dengan menahan dan menghalanginya dari maslahat dan manfaat. 

Allâh Azza wa Jalla akan membalas orang yang jujur dengan memberinya taufiq dalam melakukan amal shalih di dunia dan akhirat.[7] 

FAWAA-ID HADITS 
Perintah dan anjuran untuk berkata dan berbuat jujur. 

Perintah untuk senantiasa membiasakan berkata dan berbuat jujur dan berpegang pada kebenaran. 

Berkata dan bersikap jujur akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa ke Surga. 

Orang yang membiasakan diri jujur, maka sikap itu akan menjadi akhlak dan Orang yang terbiasa dengan akhlak dan perangai yang baik dan jujur, maka ia akan diberi julukan yang dikenal yaitu shiddiq (jujur). 

Akhlak yang mulia diperoleh dengan karunia Allâh Azza wa Jalla dan usaha yang sungguh-sungguh untuk belajar dan mengamalkannya. 

Larangan berkata dan berbuat dusta atau bohong Kedustaan merupakan sarana yang membawa kepada kejahatan, dan kejahatan akan membawa ke Neraka. 

Akhlak yang buruk yang paling dibenci oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dusta atau bohong. 

Dusta adalah sifat munafik dan kemunafikan dibangun di atas kedustaan. 

Dusta atau bohong hukumnya haram. Dosa berdusta atau bohong bertingkat-tingkat. 

Orang yang berdusta dalam mu’amalah (misalnya dalam jual beli) lebih besar dosanya dari orang yang sekedar menyampaikan berita. 

Berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dosanya lebih besar dibanding berdusta atas nama orang lain dan diancam masuk neraka. 

Jujur akan membawa kepada ketenangan dan ketentraman, sedangkan dusta membawa kepada keragu-raguan dan kegelisahan. 

Orang yang terbiasa berbohong dan terus menerus melakukan kebohongan maka ia akan dijuluki tukang dusta/bohong. 
 
MARAAJI’ 
Al-Qur-an dan Terjemahnya 
Shahîh al-Bukhâri 
Shahîh Muslim 
Sunan Abu Dawud 
Sunan at-Tirmidzi 
Al-Mushannaf libni Abi Syaibah 
At-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân 
As-Sunan al-Kubra lil Baihaqi 
Syarhus Sunnah lil Baghawi 
Musnad Imam Ahmad 
Madârijus Sâlikîn 
Fawâ‘idul Fawâ‘id 
Mukhtashar Minhâjil Qâshidîn 
Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh’Utsaimin. 
Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdush Shâlihîn

_______ 
Footnote
[1] Madârijus Sâlikîn (II/279), cet. Daarul Hadits-Kairo. 
[2] Madârijus Sâlikîn (280-284) dengan ringkas. 
[3] Mukhtashar Minhâjil Qâshidîn (hlm. 464-466) dengan ringkas. 
[4] Syarh Riyâdhis Shâlihîn (VI/160-161) karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin. 
[5] Fawâ’idul Fawâ’id (hlm. 299). 
[6] Syarah Riyâdhis Shâlihîn (hlm. 160-161) karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin. 
[7] Fawâ’idul Fawâ’id (hlm.300) 

https://almanhaj.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layu Sebelum Berkembang

Imam Malik Bin Anas

SEBANYAK 12 MALAIKAT BEREBUT MENCATAT KEBAIKAN KITA