LARANGAN BERSIKAP GHULUW (BAGIAN KE-2)

Membangun kubur, menembok kubur, membuat bangunan, monument, dan patung di atas kuburan adalah sikap ghuluw dan bid’ah yang membawa manusia kepada kesyirikan. 

Oleh karena itu dalam Islam tidak boleh membangun kuburan, disemen, dan lainnya. Tidak boleh juga menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. 

Ghuluw ini ada bermacam-macam. Ghuluw dalam ‘aqidah, yaitu ghuluw yang berkaitan dengan seluruh syari’at Islam dan pokok masalahnya (perkara ‘aqidah). 

Ghuluw dalam perkara ‘aqidah ini lebih berbahaya daripada ghuluw dalam perkara amal karena dapat menyebabkan manusia keluar dari agama Islam, meninggalkan agama mereka dan menyebabkan terjadinya perpecahan kaum Muslimin dan adanya jama’ah-jama’ah yang menyimpang dari jalan yang lurus. 

Di antara bentuk ghuluw dalam aqidah yaitu berlebihan dalam mensucikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , akhirnya mereka mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allâh yang tinggi dan indah. 

Ada juga yang mengingkari seluruhnya seperti Jahmiyyah, ada pula yang mengingkari sebagiannya, ada yang menta’wîl (menyelewengkan) dari makna yang sebenarnya kepada makna yang lain. 

Ada juga yang berlebihan dalam menetapkan sifat Allâh Azza wa Jalla , mereka hanya mengambil sebagian dalil saja. 

Akhirnya mereka menyerupakan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya, seperti kelompok Musyabbihah. Kedua golongan tersebut sesat dan menyesatkan. 

Sebagian Ulama ada yang mengatakan bahwa Jahmiyyah dan Musyabbihah telah keluar dari Islam. 

Kedua golongan ini telah menyalahi al-Qur-an dan as-Sunnah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman : 

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ 

“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syûrâ/42: 11] 

Termasuk ghuluw dalam aqidah juga yaitu seperti kaum Rafidhah, mereka bersikap berlebihan terhadap Ali radhiyallahu anhu dan Ahlul Bait radhiyallahu anhum, serta mereka menyatakan permusuhan terhadap sebagian besar shahabat, khususnya Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma. 

Rafidhah (syi’ah) adalah golongan yang sesat dan menyesatkan. Adapun ghuluw dalam ibadah yaitu segala apa yang terkait dengan satu bagian atau lebih dari satu bagian syari’at Islam. 

Di antara bentuk ghuluw dalam ibadah yaitu melakukan shalat malam semalam suntuk. Ini termasuk orang yang ghuluw dalam amalannya. 

Padahal sesungguhnya agama Islam dibangun di atas kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Rasûlullâh ﷺ bersabda :

 إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَـمْ يَبْعَثْنِيْ مُعَنّـِـتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِيْ مُعَلِّمًـا مُيَسِّرًا 

Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak mengutus aku untuk menyulitkan, akan tetapi Allâh mengutus aku untuk mengajarkan dan memudahkan.[9] 

Termasuk ghuluw dalam ibadah ialah memanjangkan bacaan shalat ketika mengimami shalat, sebagaimana yang terjadi pada masa Rasûlullâh ﷺ. 

Beliau ﷺ menegur seorang Shahabat yang memanjangkan bacaan shalat berjama’ah sehingga makmum tidak merasa nyaman dan gelisah. 

Saat hal itu diadukan kepada Rasûlullâh ﷺ, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah lantas bersabda : 

يَا أَيُّـهَـا النَّاسُ، إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِـّرِيْنَ، فَأَيُّـكُمْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيُوْجِزْ، فَإِنَّ مِنْ وَرَائِهِ الْكَبِيْـرَ وَالضَّعِيْفَ وَذَا الْـحَاجَةِ. 

Wahai manusia! Sesungguhnya di antara kalian ada yang membuat orang lain lari! 

Siapa saja di antara kalian mengimami orang lain, hendaklah ia meringankan shalatnya (tidak terlalu lama) karena di belakangnya ada orang tua, orang-orang yang lemah, dan orang yang mempunyai keperluan.[10] 

Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat Radhiyallahu anhum datang bertanya kepada isteri-isteri Nabi tentang ibadah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan ibadah mereka. 

Salah seorang dari mereka berkata, “Adapun saya, maka sungguh, saya akan puasa sepanjang masa tanpa putus.” 

Shahabat yang lain berkata, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam selama-lamanya.” 

Yang lain berkata, “Sungguh saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan nikah selama-lamanya…” 

Ketika hal itu didengar oleh Nabi ﷺ, beliau keluar seraya bersabda : 

أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللهِ إِنِـّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِـّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِـّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِـي فَلَيْسَ مِنِـّي. 

Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu ? 

Demi Allâh , sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. 

Akan tetapi aku berpuasa dan aku pun berbuka, aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita. 

Maka, barangsiapa tidak menyukai sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.[11] 

Termasuk dari sikap ghuluw juga yaitu berlebihan dan melampaui batas dalam menyanjung Nabi ﷺ, sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allâh, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. 

Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau ﷺ, tawassul dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau ﷺ, bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allâh Azza wa Jalla, perbuatan ini adalah syirik. 

Rasûlullâh ﷺ bersabda : 

لَا تُـطْـرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَـرْيَمَ، فَإِنَّمَـا أَنَـا عَبْدُهُ، فَـقُوْلُوْا عَبْـدُ اللّـهِ وَرَسُوْلُـهُ 

Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘‘Abdullâh wa Rasûluhu (hamba Allâh dan Rasul-Nya).’”[12] 

Adapun ghuluw dalam mu’amalah yaitu dengan bersikap keras dalam mengharamkan segala sesuatu. 

Dan yang menjadi lawan sikap keras ini adalah sikap menggampangkan, seperti perkataan seseorang yang menghalalkan segala cara yang dapat mengembangkan harta dan ekonomi hingga menghalalkan riba, penipuan, dan selain itu. 

Sedangkan yang pertengahan ialah mu’amalah yang dibangun di atas sikap amanah, jujur, adil dan halal, yaitu setiap mu’amalah yang sesuai dengan nash-nash al-Qur’ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. 

Pembahasan tentang ghuluw sangat luas, ini adalah sebagian kecil yang dapat dibahas. 

Mudah-mudahan bermanfaat. 

FAWAA-ID 
Bahwa syirik yang pertama kali terjadi di muka bumi ini adalah karena sikap ghuluw (berlebihan) terhadap orang-orang shalih. 

Faktor yang menyebabkan manusia menyimpang dan keluar dari agama Islam adalah ghuluw (berlebihan) terhadap orang-orang shalih. 

Syari’at Islam dan fitrah manusia menolak adanya ghuluw, karena membawa kepada kebinasaan. 

Dalam Islam dilarang dan tidak boleh menyemen kubur, membangun kubur, menulis nama si mayit, dan tidak boleh membuat patung-patung. 

Dosanya orang-orang berilmu yang mencampur-adukkan antara kebenaran dan kebatilan, serta membiarkan ummat terjatuh ke dalam ghuluw, kesyirikan, dan bid’ah. 

Ayat dalam surat Nûh menunjukkan bahwa berlebih-lebihan dan melampaui batas terhadap orang-orang shalih adalah penyebab terjadinya syirik dan ditinggalkannya tuntunan agama para Nabi. 

Bid’ah lebih disenangi oleh Iblis daripada maksiat, karena maksiat pelakunya masih mau taubat, sedangkan bid’ah pelakunya sulit untuk bertaubat. 

Syirik adalah dosa besar yang paling besar dan bid’ah semuanya adalah sesat, meskipun niat pelakunya baik. 

Kaidah umum, yaitu bahwa sikap yang berlebihan dalam agama dilarang; dan mengetahui pula dampak yang diakibatkannya. 

Dilarang berdiam diri di kuburan dengan niat untuk suatu amal shalih, karena akan membawa kepada penyembahan terhadap kubur. 

Larangan adanya patung-patung dan hikmah memusnahkannya, yaitu untuk menjaga kemurnian tauhid dan mengikis kemusyrikan. 

Sikap kaum Nabi Nuh Alaihissallam yang berlebihan terhadap orang-orang shalih tidak lain karena mengharap syafa’at mereka. Akhirnya kuburan dan patung orang shalih disembah. 

Ketulusan hati beliau ﷺ kepada kita dengan memperingatkan bahwa orang-orang yang berlebihan tindakannya akan binasa. 

Dinyatakan dalam kisah bahwa patung-patung itu baru disembah setelah ilmu agama dilupakan. 

Dengan demikian, dapat diketahui pentingnya ilmu syar’i dan bahayanya apabila hilang. 

MARAAJI’ 
Al-Qur’ânul Karîm 
Kutubus sittah dan lainnya. 
Iqtidhâ‘-us Shirâtil Mustaqîm, tahqiq DR. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql. 
Ighâtsatul Lahfân, takhrij Syaikh al-Albani dan tahqiq Syaikh Ali Hasan. 
Fat-hul Majîd li Syarh Kitâbit Tauhîd, tahqiq DR. Walid bin Abdurrahman Aal Furayyan. 
Al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd, karya Syaikh al-‘Utsaimin. 
Dan lainnya. 

_______ 
Footnote 

[1] Al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd (hlm. 237), cet. II, th. 1424 H, Daar Ibnil Jauzi. 

[2] Ighâtsatul Lahfân fii Mashâyid asy-Syaithân (I/346-347), karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, takhrij Syaikh al-Albani, tahqiq Syaikh Ali Hasan al-Halaby. 

[3] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 4920). Lihat takhrijnya dalam kitab Ighâtsatul Lahfân (I/347), takhriij Syaikh al-Albani. 

[4] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 427, 434, 1341, 3878), Muslim (no. 528), An-Nasâ’i (II/41-42), Ahmad dalam al-Musnad (VI/51), dan lainnya. 

[5] Fat-hul Majîd li Syarh Kitâbit Tauhîd (I/386). 

[6] Al-Qaulul Mufîd ‘ala Kitâbit Tauhîd (hlm. 252). 

[7] Lihat Ighâtsatul Lahfân (I/348) takhriij Syaikh al-Albani dan Iqtidhâ‘ush Shirâtil Mustaqîm (II/191).tidhaa-ush Shiraatil Muataqiim 

[8] Iqtidhâ‘us Shirâtil Mustaqîm (II/192-193), Ighâtsatu Lahfân (I/349-350), dan Fat-hul Majîd Syarah Kitâbit Tauhîd (I/387-388). 

[9] Shahih: HR. Muslim (no. 1475) dan Ahmad (III/328) lafazh ini milik Ahmad dari Shahabat ‘Aisyah Radhiyallahu anha. 

[10] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 90) dan Muslim (no. 466) lafazh ini milik Muslim dari Shahabat Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu. 

[11] Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 5063), Muslim (no. 1401), Ahmad (III/241, 259, 285), an-Nasa-i (VI/60) dan al-Baihaqi (VII/77) dari Shahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu. 

[12] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtashar asy-Syamaa-il al-Muhammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu 

https://almanhaj.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layu Sebelum Berkembang

Imam Malik Bin Anas

SEBANYAK 12 MALAIKAT BEREBUT MENCATAT KEBAIKAN KITA