SAHABAT JULAIBIBرضي الله عنه ‏ ‏YANG MERINDUKAN MATI SYAHID

JULAIBIB رضي الله عنه (IA MEMILIH BERJIHAD DAN MERINDUKAN SYAHID) 

“Sami’na wa`atha’na”, itulah sikap seorang mukmin ketika sampai kepadanya perintah dari Rasulullah ﷺ. 

Sikap ini sebagai bukti keimanannya kepada Rasulullah ﷺ dan sebagai bukti kecintaannya kepada Allah سبحانه وتعالى. 

Memang demikianlah, menjadi keharusan bagi seseorang yang telah bersaksi Muhammad adalah utusan Allah untuk menerima segala yang telah menjadi keputusan Rasulullah. 

Tidak ada lagi pilihan bagi dirinya, kecuali harus tunduk dan patuh, karena Rasulullah ﷺ tidak memerintahkan kecuali dalam perintah tersebut mengandung banyak hikmah. 

Dan beliau ﷺ tidak melarang, kecuali dalam larangan itu terdapat bahaya besar. Sikap taat, tunduk dan patuh itu selalu menghiasi para sahabat Rasulullah yang merupakan satu generasi terdidik di bawah naungan cahaya Nubuwwah. 

Generasi yang dipuji oleh Allah dan yang terpilih untuk menemani, serta mendukung dakwah Rasulullah ﷺ. 

Allah سبحانه وتعالى berfirman:

 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا 

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. 

Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. [al-Ahzâb/33 : 36]. 

Ada suatu kisah sangat menarik berkaitan dengan ayat yang mulia ini. Yaitu kisah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Julaibib  رضي الله عنه. 

Sahabat ini bukan termasuk orang terpandang di kalangan kaum Anshar. Perawakannya juga kurang bagus. 

Sahabat ini termasuk dalam kategori orang miskin, tidak memiliki harta. Meskipun demikian, beliau sangat dicintai oleh Rasulullah ﷺ karena ketakwaan yang ada pada dirinya. 

Suatu ketika Rasulullah ﷺ ingin menikahkannya dengan salah seorang putri sahabat Anshar. 

Maka Rasulullah ﷺ mendatangi rumah sahabat Anshar ini dan berkata: “Nikahkanlah putrimu denganku”. 

Mendengar ucapan Rasulullah ﷺ, sahabat tadi tanpa berpikir panjang langsung menerima tawaran Rasulullah. 

Satu kesempatan yang sangat berharga, dan suatu kebanggaan tak ternilai ketika terjalin hubungan dengan Rasulullah ﷺ. 

Akan tetapi, Rasulullah ﷺ menjelaskan, bahwa pinangan ini bukan untuk dirinya. “Kalau begitu pinangan ini untuk siapa, wahai Rasulullah?” katanya dengan penuh tanda tanya. 

Beliau ﷺ menjawab: “Untuk Julaibib”. Dengan penuh kebingungan sahabat itu menjawab: “Baiklah, wahai Rasulullah! 

Tetapi aku harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan istriku”. 

Pergilah sahabat ini menemui istrinya. Terlintas di benaknya, apa kata orang jika putriku menikah dengan Julaibib?! Bagaimana martabat keluarganya?! 

Setelah bertemu dengan istrinya, iapun menceritakan pinangan Rasulullah. Dia berkata: “Wahai, istriku. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ meminang putrimu,” serta merta istrinya menjawab: “Iya, aku sangat setuju”. 

“Akan tetapi Rasulullah tidak meminang untuk dirinya, ” jelas sang suami. “Lantas untuk siapa pinangan itu,” tanya istrinya penuh keheranan. 

“Rasulullah meminangnya untuk Julaibib,” tandasnya. Istrinya menjawab: “Untuk Julaibib? Tidak! Aku tidak setuju. 

Jangan engkau nikahkan dengannya!” Mereka enggan memiliki seorang menantu seperti Julaibib  رضي الله عنه yang tidak memiliki apa-apa. 

Demikianlah, keadaan sebagian orang tua yang terkadang lebih mengutamakan dunia seseorang dari pada agamanya. 

Percakapan itu ternyata terdengar oleh putrinya. Lantas bagaimana dengan sikap putrinya mendengar pinangan dari Rasulullah? 

Tak disangka, ketika bapaknya hendak beranjak pergi untuk menolak pinangan Rasulullah ﷺ, terdengarlah suara dari dalam kamar: “Siapakah yang telah meminangku, wahai ayah?” 

Sang ibu kemudian menceritakan bahwa yang meminang adalah Rasulullah ﷺ, akan tetapi pinangan itu bukan untuk dirinya, tetapi untuk Julaibib, Ternyata putrinya menjawab dengan tegas: “Apakah kalian menolak perintah Rasulullah ﷺ? 

Tidakah kalian mendengar firman Allah

 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ 

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (al-Ahzâb [33] ayat 36) 

Terimalah pinangan itu, karena ia tidak akan menyia-nyiakanku. Ketahuilah, aku tidak akan menikah kecuali dengan Julaibib!” 

Mendengar penuturan putrinya, maka pergilah sahabat itu menghadap Rasulullah ﷺ. 

Sesampai di hadapan Rasulullah, iapun berkata: “Wahai, Rasulullah! Aku menerima pinanganmu. Nikahkanlah putriku dengan Julaibib“. 

Sungguh satu pernyataan yang menunjukkan ketundukan terhadap perintah Rasulullah ﷺ. 

Wanita shalihah ini tidak melihat diri calon pendamping hidupnya, kecuali dengan pandangan agama. 

Dia sangat memahami, bahwa kemuliaan dan kebahagiaan hidup seseorang hanyalah dengan ketakwaan kepada Allah سبحانه وتعالى. 

Itulah sikap seorang yang beriman kepada Rasulullah ﷺ. Perintah Rasulullah selalu didahulukan dari keinginan pribadinya. 

Dia yakin, keputusan Rasulullah ﷺ itu yang terbaik. Ya, ilmu selalu membimbingnya kepada kebaikan, ketundukan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. 

Tak terperi, kebahagiaan pun meliputi Julaibib. Istri yang shalihah akan segera menjadi pendamping hidupnya. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menikahkannya dengan Julaibib, serta mendoakannya,

      اَللّهُمَّ صُبَّ عَلَيْهِمَا الْخَيْرَ صَبًّا  وَلَا تَجْعَلْ عَيْشَهُمَا كَدًّا كَدًّا

“Ya Allah! Limpahkan kepada keduanya kebaikan, dan jangan jadikan kehidupan mereka susah.”( Diriwayatkan Imam Ahmad).

Kehidupan baru akan segera ia jalani. Namun, kiranya angan-angan itu serasa hilang, ketika panggilan jihad mengetuk hatinya. 

Karena pada saat yang bersamaan, Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada kaum muslimin agar berjihad di jalan Allah. 

Julaibib dalam kebimbangan. Ia bingung manakala harus memilih antara istri shalihah, kebahagiaan, atau mati shahid yang selama ini dicita-citakannya?! 

Akhirnya, ternyata kerinduan terhadap mati syahid di medan perang menjadi pilihannya. Maka berangkatlah Julaibib menuju medan perang. 

Dia tinggalkan calon istrinya yang shalihah dan kebahagiaan yang akan segera ia peroleh, demi menyambut panggilan Rabbnya, yaitu berjihad di jalan-Nya. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah ﷺ. 

Beliau sangat memberi perhatian kepada para sahabatnya usai peperangan. Biasanya beliau ﷺ menanyakan siapa saja yang syahid dalam peperangan itu. 

Rasulullah ﷺ bertanya kepada para sahabatnya: “Siapa saja yang gugur di jalan Allah?” Mereka menjawab: ” Fulan dan fulan, wahai Rasulullah”. 

Mereka tidak menyebutkan nama yang dicari oleh Rasulullah ﷺ, yakni Julaibib. 

Maka Rasulullah ﷺ kembali menanyakan kepada para sahabat, dan jawaban mereka sama. 

Kemudian beliau ﷺ berseru: “Sesunguhnya aku telah kehilangan salah seorang sahabatku, Julaibib. Carilah ia!” 

Para sahabat segera mencari jasad Julaibib Radhiyallahu anhu. Dan mereka mendapatkan jasadnya tersungkur. Di sekelilingnya terdapat tujuh jasad orang kafir. 

Segeralah para sahabat memberitahukan kepada Rasulullah tentang Julaibib, maka Rasulullah ﷺ segera menghampiri jasadnya. 

Beliau ﷺ berdiri di sampingnya dan bersabda: 

(قتل سبعة ثم قتلوه، هذا مني وأنا منه، هذا مني وأنا منه)

”Dia telah membunuh tujuh orang ini, kemudian mereka membunuhnya. Sesungguhnya, ia adalah aku, dan aku adalah dia”. 

Rasulullah  ﷺ mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian, dengan penuh lemah lembut dan kasih sayang beliau ﷺ mengangkat jasadnya dan menyandarkan di lengannya. 

Para sahabat mempersiapkan liang lahat untuknya, dan Rasulullah terus menyandarkan jasad Julaibib  رضي الله عنه di lengannya, sampai akhirnya ia di kuburkan. 

Semoga Allah سبحانه وتعالى merahmatinya. Itulah akhir kehidupan Sahabat Julaibib  رضي الله عنه. 

Beliau menutup lembaran-lembaran amalnya dengan mati syahid di jalan Allah. Lalu, bagaimanakah dengan wanita shalihah yang siap mendampinginya? 

Sepeninggal Sahabat Julaibib  رضي الله عنه, wanita itu menjadi seorang yang kaya raya di kalangan kaum Anshar. 

Semua itu berkat doa Rasulullah ﷺ. Yaitu ketika beliau ﷺ berdoa: “Ya, Allah! 

Curahkanlah kebaikan untuknya. Dan jangan Engkau menjadikan untuknya kehidupan yang susah”. 

Dengan doa Rasulullah ﷺ ini, ia mendapatkan keberkahan dalam kehidupannya. 

Demikianlah hikmah lantaran taat kepada Rasulullah ﷺ. 

Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi kita. Wallahu a’lam. 

Marâji’: 
1. Shahih Muslim. 
2. Usud al-Ghabah fi Ma’rifati ash-Shahabah. 
3. Tafsir Ibnu Katsir. 

https://almanhaj.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layu Sebelum Berkembang

Imam Malik Bin Anas

SEBANYAK 12 MALAIKAT BEREBUT MENCATAT KEBAIKAN KITA