OBAT CINTA DUNIA ADALAH DENGAN MENGINGAT AKHIRAT (BAGIAN KE-1)

CINTA DUNIA MERUPAKAN SUMBER DARI KESALAHAN DAN KERUSAKAN AGAMA 

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله 

Tujuan hidup seorang Muslim adalah akhirat, bukan dunia. Akhirat (surga) merupakan puncak cita-cita seorang Muslim. 

Orang yang beriman dan berakal memandang dunia dan akhirat dengan sudut pandang yang benar. 

Cinta seseorang kepada akhirat tidak akan sempurna kecuali dengan bersikap zuhud terhadap dunia. 

Sementara, zuhud terhadap dunia tidak akan terealisasi melainkan setelah ia memandang kedua hal ini dengan sudut pandang yang benar. 

Pertama, memandang dunia sebagai sesuatu yang mudah hilang, lenyap, dan musnah. 

Dunia adalah sesautu yang kurang, tidak sempurna dan hina. Persaingan dan ambisi dalam mendapatkan hal-hal duniawi sangat menyakitkan. 

Dunia adalah tempat kesedihan, kesusahan dan kesengsaraan. Akhir dari semua masalah duniawi adalah kefanaan yang diikuti dengan penyesalan dan kesedihan. 

Orang yang mengejar kenikmatan dunia tidak lepas dari tiga keadaan yaitu kecemasan sebelum meraihnya, keresahan pada saat meraihnya, dan kesedihan setelah meraihnya. 

Kedua, memandang akhirat sebagai sesuatu yang pasti datang, kekal dan abadi. Karunia dan kebahagiaan yang terdapat di akhirat begitu mulia, dan apa yang ada di akhirat sangat berbeda dengan apa yang ada di dunia. 

Akhirat adalah sebagaimana yang difirmankan Allâh Azza wa Jalla : 

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ 

Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. [Al-A’la/87: 17] 

Apabila seseorang lebih mengutamakan sesuatu yang fana dan tidak sempurna, maka itu merupakan indikasi ketidaktahuannya terhadap mana yang lebih utama atau jika dia tahu maka itu merupakan indikasi dia tidak menginginkan sesuatu yang lebih utama tersebut. 

Kedua hal ini menunjukkan lemahnya iman, akal, dan hatinya. Sebab, orang yang mengejar dunia, berambisi terhadapnya, dan lebih memprioritaskannya daripada akhirat, tidak luput dari kondisi apakah ia percaya bahwa apa yang di akhirat itu lebih mulia, lebih utama, dan lebih kekal daripada apa yang ada di dunia, ataukah ia tidak percaya akan hal tersebut? 

Jika ia tidak percaya, berarti ia tidak mempunyai keimanan. Tapi jika ia percaya namun tidak lebih mengutamakan akhirat daripada dunia, maka ia adalah orang yang akalnya rusak dan tidak pandai memilih yang terbaik bagi diri sendiri. 

Pembagian ini penting untuk diketahui, mengingat bahwa setiap hamba tidak dapat terlepas dari salah satunya. 

Dengan kata lain, orang yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat disebabkan oleh dua faktor; pertama adalah rusaknya iman, dan yang kedua adalah rusaknya akal. 

Sungguh, alangkah banyak orang yang mengalami kedua hal tersebut. Oleh sebab itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Beliau mencampakkan dunia di belakang punggung mereka. 

Mereka memalingkan hati mereka dari dunia. Mereka mengabaikannya dan tidak merasa nyaman dengannya. Mereka meninggalkannya dan tidak mengejarnya. 

Bagi mereka, dunia adalah penjara, bukan surga, sehingga mereka selalu bersikap zuhud dalam arti yang sebenarnya. Seandainya menginginkan dunia, niscaya mereka akan mendapatkan apa yang disenangi dan mencapai apa yang diinginkan. 

Sungguh, Nabi ﷺ pernah ditawarkan kunci-kunci perbendaharaan dunia, tetapi Beliau menolaknya. 

Dunia juga ditawarkan kepada para Sahabat Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka tidak terpengaruh dan tidak menukar akhirat mereka dengannya. 

Mereka tahu bahwa dunia hanya tempat melintas dan persinggahan, bukan tempat untuk tinggal dan menetap. 

Dunia adalah tempat kesedihan, bukan tempat kebahagiaan. 

Dunia tak ubahnya seperti awan pada musim kemarau yang membumbung di langit namun hanya sebentar lalu menghilang. 

Dunia seperti khayalan (mimpi) sesaat yang belum juga kita puas menikmatinya, tiba-tiba diumumkan untuk berangkat (menuju tempat tujuan). 

Nabi ﷺ bersabda, 

مَالِيْ وَلِلدُّنْيَا ؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟ إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا 

Apalah artinya dunia ini bagiku?! Apa urusanku dengan dunia?! 

Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya[1] 

Rasûlullâh ﷺ bersabda :

 وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِـي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَـجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هٰذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَ بِالسَّبَّابَةِ – فِـي الْيَمِّ ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِـعُ ؟ 

Demi Allâh! Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian meletakkan jarinya -Yahya (perawi hadits) berisyarat dengan jari telunjuknya- ke laut, lalu lihatlah apa yang dibawa jarinya itu?[2] 

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ 

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu hanya seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi dengan subur (karena air itu), di antaranya ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. 

Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan berhias, dan pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya (memetik hasilnya), datanglah kepadanya adzab Kami pada waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman)nya seperti tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. 

Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami) kepada orang yang berpikir. [Yûnus/10:24] 

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman: 

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا ﴿٤٥﴾ الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا 

Dan buatkanlah untuk mereka (manusia) perumpamaan kehidupan dunia ini, ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. 

Dan Allâh Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan. [Al-Kahfi/18:45-46][3] 

Ada kabar mutawatir dari ulama Salaf mengatakan, “Cinta dunia merupakan induk dari segala kesalahan (dosa) dan merusak agama. Hal ini ditinjau dari beberapa segi: 

Pertama: Mencintai dunia berarti mengagungkan dunia, padahal ia sangat hina di mata Allâh Azza wa Jalla . 

Termasuk dosa yang paling besar adalah mengagungkan sesuatu yang direndahkan oleh Allâh Azza wa Jalla.

Kedua: Allâh Azza wa Jalla mengutuk, memurkai, dan membenci dunia, kecuali yang ditujukan kepada-Nya. Karena itu, barangsiapa mencintai apa yang dikutuk, dimurkai, dan dibenci oleh Allâh Azza wa Jalla maka ia akan berhadapan dengan kutukan, murka dan kebencian-Nya. 

Ketiga: Mencintai dunia berarti menjadikan dunia sebagai tujuan dan menjadikan amal dan ciptaan Allâh Azza wa Jalla yang seharusnya menjadi sarana menuju kepada Allâh Azza wa Jalla dan negeri akhirat berubah menjadi kepentingan dunia. Sehingga ia membalik persoalan dan memutar kebijaksanaan. 

Di sini ada dua persoalan: 
Menjadikan wasilah (sarana) sebagai tujuan. 
Menjadikan amal akhirat sebagai alat untuk menggapai dunia. 

Ini adalah keburukan yang terbalik dari semua sisi. Juga berarti membalik sesuatu pada posisi yang benar-benar terbalik. 

Ini sesuai sekali dengan firman Allâh Azza wa Jalla : 

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. 

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh balasan di akhirat kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hûd/11: 15-16] 

Keempat: Mencintai dunia membuat manusia tidak sempat melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya di akhirat akibat kesibukannya dengan dunia. 

Kelima: Cinta dunia menjadikan dunia sebagai cita-cita terbesar manusia. 

Rasûlullâh ﷺ bersabda: 

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَـهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَـتْهُ الدُّنْـيَا وَهِـيَ رَاغِمَـةٌ 

Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. 

Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh Azza wa Jalla akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.[4] 

Keenam: Pecinta dunia adalah orang yang paling banyak disiksa karena dunia, ia disiksa pada tiga keadaan. 

Ia disiksa di dunia dalam bentuk usaha, kerja keras untuk mendapatkannya, dan perebutan dengan sesama pecinta dunia. 

Dia disiksa di alam barzakh (kubur) dan disiksa pada hari kiamat. 

Ketujuh: Penggila harta dan pecinta dunia yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat adalah orang yang paling bodoh dan paling idiot. 

Sebab, ia lebih mengutamakan khayalan daripada kenyataan, lebih mengutamakan tidur daripada terjaga, lebih mengutamakan bayang-bayang yang segera hilang daripada kenikmatan yang kekal, lebih mengutamakan rumah yang segera binasa dan menukar kehidupan yang abadi yang nyaman dengan kehidupan yang tidak lebih dari sekedar mimpi atau bayang-bayang yang segera hilang. 

Sesungguhnya orang yang cerdas tidak akan tertipu dengan hal-hal semacam itu.[5] 

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

 مُحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ : هَمٌّ لَازِمٌ ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْقَضِى. 

Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal : kesedihan (kegelisahan) yang terus-menerus; kecapekan (keletihan) yang berkelanjutan; dan penyesalan yang tidak pernah berhenti.[6] 

Manusia diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk beribadah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ 

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agarmereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzâriyât/51:56] 

Oleh karena itu wajib dia habiskan waktunya untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. 

Bersambung... 

https://almanhaj.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layu Sebelum Berkembang

Imam Malik Bin Anas

SEBANYAK 12 MALAIKAT BEREBUT MENCATAT KEBAIKAN KITA