OBAT CINTA DUNIA ADALAH DENGAN MENGINGAT AKHIRAT (BAGIAN KE-2)

Janganlah seorang Muslim tertipu dengan dunia, sehingga dia lalai dan meninggalkan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . 

Rezeki dan ajal sudah ditentukan oleh Allâh Azza wa Jalla, meskipun demikian seorang Muslim wajib mencari nafkah sekedarnya untuk kehidupan dia di dunia. 

Akan tetapi janganlah kesibukan dia dengan usaha, dagang, kerja, dan lainnya itu membuat ia lalai dari mengingat Allâh Azza wa Jalla. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ 

Wahai orang-orang yang beriman!Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allâh.

Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” [Al-Munaafiquun/63: 9] 

Wajib diingat, bahwa kesibukan kita dengan ibadah kepada Allâh dengan ikhlas dan itiiba’ serta senantiasa bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla akan mendatangkan rezeki dan menutup kefakiran. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ 

Barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan membukakan jalan keluar bagi-nya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya [Ath-Thalâq/65 : 2-3] 

Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allâh Ta’ala berfirman, 

يَا ابْنَ آدَمَ ! تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِـيْ أَمْلَأُ صَدْرَكَ غِنًـى وَأَسُدُّ فَقْرَكَ ، وَإِلَّا تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَيْكَ شُغْلًا وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ 

‘Wahai anak Adam! Curahkanlah (gunakanlah) waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan (kecukupan) dan Aku tutup kefakiranmu. 

Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefakiranmu.’”[7] 

Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh tertipu oleh kehidupan dunia. 

Dan hendaklah ia mencurahkan waktunya untuk beribadah kepada Allâh. 

Banyak manusia yang terlalaikan sehingga banyak waktu yang terbuang sia-sia untuk mengejar dunia, waktu yang digunakan mulai dari pagi hingga malam hanya untuk mengurusi dunia, seperti mencari nafkah, dagang, kerja, lembur, mengerjakan tugas kantor. 

Sedangkan rizki itu datangnya dengan pasti, setiap anak yang lahir itu sudah membawa rizki. 

Akan tetapi yang belum pasti adalah keadaan kita dihadapan Allâh pada hari Kiamat, apakah amal kita diterima atau tidak, apakah kita akan masuk surga atau neraka. 

Oleh karena itu, jangan jadikan dunia ini sebagai tujuan. 

Orang yang tujuannya dunia akan diceraiberaikan urusannya dan dijadikan kefakiran di depan pelupukmatanya. 

Sehingga ia selalu merasa kurang, tidak cukup, dan fakir, padahal Allâh telah memberikan nikmat yang banyak. 

Rasûlullâh ﷺ bersabda, 

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ، وَأَتَـتْهُ الدُّنْيَا وَهِـيَ رَاغِمَةٌ 

Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. 

Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.[8] 

Akan tetapi dunia tidak akan datang melainkan hanya seukuran apa yang telah Allâh Azza wa Jalla tentukan, meskipun ia telah kerja dari pagi sampai larut malam. 

Adapun orang yang tujuannya adalah akhirat, maka Allâh Azza wa Jalla kumpulkan seluruh urusannya, Allâh Azza wa Jalla jadikan hatinya itu merasa cukup dengan rezeki yang Allâh Azza wa Jalla berikan dan dunia akan datang dalam keadaan hina. 

Orang yang bahagia adalah orang cukup dan puas dengan rezeki yang Allâh Azza wa Jalla berikan. 

Rasûlullâh ﷺ bersabda:

 قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ 

Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allâh berikan kepadanya[9] 

Orang yang beriman dengan iman yang benar, maka dia tidak suka dengan kedudukan dan jabatan, karena kecintaan manusia kepada jabatan atau kepemimpinan akan membawa kepada kerusakan. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Yang demikian karena cinta kepada kepemimpinan (kedudukan/jabatan) merupakan sumber kejahatan dan kezhaliman.”[10] 

Rasûlullâh ﷺ bersabda:

 مَاذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ 

Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat rakus manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya.[11] 

Di dalam hadits ini Rasûlullâh ﷺ mengabarkan bahwa ketamakan manusia terhadap harta dan jabatan pasti akan merusak agamanya. 

Ketamakan manusia kepada harta dan kepemimpinan akan membawa kepada kezhaliman, kebohongan dan perbuatankeji. 

Bahkan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. 

Na’uudzubillah min dzalik (kita berlindung kepada Allâh dari sifat dan perbuatan demikian). 

Orang-orang yang gila kepada harta, kedudukan, jabatan, dan cinta kepada dunia mereka akan menyesal pada hari kiamat, ketika mereka diberikan catatan amalnya dari sebelah kirinya. 

Semua kekuasaan, jabatan, dan hartanya tidak bermanfaat di akhirat. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ ﴿٢٥﴾ وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ ﴿٢٦﴾ يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ ﴿٢٧﴾ مَا أَغْنَىٰ عَنِّي مَالِيَهْ ﴿٢٨﴾ هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ 

Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangankirinya, maka dia berkata, “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku.

Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku, Wahai, kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu. 

Hartaku samasekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku.” [Al-Haqqah/69:25-29] 

Oleh karena itu, seorang Muslim harus zuhud terhadap dunia dan qanâ’ah (merasa puas dengan rezeki yang Allâh karuniakan kepadanya). 

Setiap Muslim dan Muslimah harus ingat, bahwa kita diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . 

Kita wajib meluangkanwaktu kita untuk ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Kalau kita sibukkan diri kita dengan ibadah, melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka Allâh Azza wa Jalla akan menutupi kefakiran kita. 

Janganlah kita disibukkan dengan dunia, dengan angan-angan, cita-cita, main-main, senda gurau, dan menumpuk-numpuk harta yang membuat kita tertipu dengan dunia. 

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bentuk penyia-nyiaan terbesar (yang banyak dilakukan oleh manusia–pent) yaitu ada dua dan keduanya merupakan pokok segala penyia-nyiaan; pertama menyia-nyiakan hati, kedua menyia-nyiakan waktu.“[12] 

Banyak orang yang menyia-nyiakan hatinya dengan lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. 

Padahal dunia ini lebih jelek dari bangkai kambing, bahkan di sisi Allâh Azza wa Jalla dunia itu tidak sebanding dengan sehelai sayap nyamuk. 

Dan hendaknya kita ingat bahwa dunia adalah kehidupan yang menipu dan memperdaya hati manusia. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ 

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. 

Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia orang yang sukses (menang). 

Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”[Ali ‘Imrân/3:185] 

Hendaknya seorang Muslim zuhud terhadap dunia dan pendek angan-angannya. 

Semua umur ini akan ditanya oleh Allâh Azza wa Jalla. 

Oleh karena itu jangan sampai disibukkan dengan dunia dan jangan disibukan dengan angan-angan kosong. 

Orang-orang kafir disibukan dengan dunia dan disibukan dengan angan-angan yang kosong. 

Kita disuruh untuk meninggalkan mereka, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla menyuruh Rasûlullâh ﷺ untuk meninggalkan orang kafir. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ 

Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya) [Al-Hijr/15:3] 

Panjang angan-angan, merasa masih berusia panjang adalah penyakit berbahaya dan kronis bagi manusia. 

Jika penyakit ini menjangkiti seorang Muslim, maka itu akan membawa kepada indikasi yang lebih serius. 

Misalnya ia mulai menjauhi perintah Allâh Azza wa Jalla, enggan bertaubat, cinta kepada dunia, lupa akan kehidupan akhirat yang abadi, dan membuat hati menjadi keras. Allâhul Musta`ân. 

Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita untuk zuhud terhadap dunia, tidak tamak kepada dunia, tidak panjang angan-angan, tidak mengharapkan sesuatu pada apa yang ada di tangan manusia. 

Mudah-mudahan Allâh memberikan kepada kita sifat qanâ’ah, merasa cukup dan puas dengan apa yang Allâh Azza wa Jalla berikan, yang dapat kita gunakan untuk melaksanakan ketaatan kepada Allâh dan menjauhkan larangan-larangan-Nya. 

Mudah-mudahan Allâh memberikan keistiqamahan kepada kita dalam menghadapi fitnah dunia, fitnah syahwat dan syubhat. 

Mudah-mudahan Allâh memasukkan kita ke dalam Surga dan menjauhkan kita dari api Neraka. 

Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk kita semua. 

_______ 
Footnote 
[1] Hasan shahih: HR. Ahmad, I/391, 441; at-Tirmidzi, no. 2377; Ibnu Mâjah, no. 4109; dan al-Hâkim, IV/310 dari Sahabat Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu. 

Imam at-Tidmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 438. 

[2] Shahih: HR. Muslim, no. 2858 dan Ibnu Hibbân, no. 4315-at-Ta’lîqâtul Hisân dari al-Mustaurid al-Fihri Radhiyallahu anhu 

[3] Fawâ`idul Fawâ`id, hlm. 311-313, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tartib,ta’liq, dan takhrij Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hafizhahullah. 

[4] Shahih: HR. Ahmad, V/183; Ibnu Mâjah, no. 4105; Ibnu Hibbân, no. 72-Mawâriduzh Zham-ân; dan al-Baihaqi, VII/288 dari Sahabat Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu. 

Lafazh ini milik Ibnu Mâjah. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 950 

[5] Diringkas dari ‘Idatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, hlm. 350-356, Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah 

[6] Ighâtsatul Lahafân, I/87-88 dan lihat Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafân, hlm. 83-84 

[7] Shahih: HR. Ahmad, II/358; at-Tirmidzi, no. 2466; Ibnu Mâjah, no. 4107 dan al-Hâkim, II/443 dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. 

Lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1359 dan Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, no. 3166 

[8] Shahih: HR. Ahmad, V/183; Ibnu Mâjah, no. 4105; Ibnu Hibbân, no. 72–Mawâriduzh Zham’ân, dan Al-Baihaqi, VII/288 dari Sahabat Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu. 

Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 950. 

[9] Shahih: HR. Muslim, no. 1054 dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu 

[10] Majmû’ Fatâwaa, XVIII/162 

[11] Shahih: HR. at-Tirmidzi, no. 2376; Ahmad, III/456, 460; ad-Darimi, II/304; Ibnu Hibban, no. 3218–At-Ta’lîqâtul Hisân; ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr, XIX/96, no. 189; dan lainnya. Hadits ini dinilai shahih oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan lainnya. 

[12] Fawâ`idul Fawaa`id, hlm. 385

https://almanhaj.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layu Sebelum Berkembang

Imam Malik Bin Anas

SEBANYAK 12 MALAIKAT BEREBUT MENCATAT KEBAIKAN KITA