LARANGAN BERSIKAP GHULUW (BAGIAN KE-1)

Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله 

Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasûlullâh  ﷺ bersabda : 

…وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِيْ الدِّيْنِ، فَإِنَّمَـا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِيْ الدِّيْنِ 

‘… Dan jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa karena sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama.’” 

TAKHRIJ HADITS 
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh 
Ahmad (I/215, 347); 
An-Nasâi (V/268); 
Ibnu Mâjah (no. 3029); 
Ibnu Khuzaimah (no. 2867); 
Ibnu Hibbân (no. 3860-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân) dan (no. 1011-Mawâriduzh Zham‘âan ila Zawâidi Ibni Hibbân); 

Ibnul Jârûd (no. 473).
Al-Hâkim (I/466), ia menshahihkannya sesuai dengan syarat al-Bukhâri dan Muslim dan adz-Dzahabi menyepakatinya; 

Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (V/Sunanul Kubra Muslim dan adz-Dzahabi menyepakatinya, 127). 

An-Nawawi berkata dalam al-Majmû’ (VIII/137), “Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Muslim.” 

Begitu juga yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidhâ Shirâthil Mustaqîm (I/328). Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1283). 

KOSA KATA HADITS 
اَلْغُلُوُّ : al-Ghuluw berasal dari kata “غَلاَ يَغْلُو غُلُوًّا” yang bermakna melampaui batas dalam ukuran. 

Yang dimaksud adalah melebihi batas dalam memuji atau mencela, tapi bisa juga bermakna lebih dari itu, yaitu melebihi batas dalam memuji, beribadah dan beramal.[1] 

SYARAH HADITS 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan ummatnya dari sikap ghuluw dan mengatakan dengan jelas bahwa itu adalah sebab kehancuran dan kebinasaan, karena menyelesihi syari’at dan menjadi penyebab kebinasaan ummat-ummat terdahulu. 

Bahkan ghuluw menyebabkan manusia bisa menjadi kafir dan meninggalkan agama mereka. 

Di antara bentuk ghuluw, yaitu sikap ghuluw terhadap orang-orang shalih dengan mengagungkan mereka, membangun kubur-kubur mereka, membuat patung-patung yang menyerupai mereka, bahkan sampai akhirnya mereka disembah. 

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Ini adalah penyakit pertama yang paling besar yang terjadi pada kaum Nûh Alaihissallam, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang mereka dalam al-Qur’ân.

Allâh Azza wa Jalla berfirman : 

قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا ﴿٢١﴾ وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا ﴿٢٢﴾ وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا ﴿٢٣﴾ وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا ۖ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا 

Nuh berkata, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya, dan mereka melakukan tipu daya yang sangat besar.” 

Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’,  Yaguts, Ya‘uq dan Nasr. 

Dan sungguh, mereka telah menyesatkan orang banyak; dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” [Nûh/71:21-24]”[2] 

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata tentang ayat ini, “Berhala-berhala yang ada pada kaum Nabi Nûh (kemudian) diwarisi oleh orang-orang Arab setelah itu. 

Wadd menjadi berhala milik Kalb di Daumah al-Jandal. 

Suwa’ milik Hudzail, Yaghûts milik Murad kemudian Bani Ghuthaif di al-Juruf di negeri Saba’. 

Ya’uq milik Hamdan, Nasr milik Himyar alu Dzil Kala’, mereka (sebenarnya) adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nûh. 

Tatkala mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum mereka, agar mereka mendirikan patung-patung pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana oleh mereka, dan menamai patung-patung itu dengan nama-nama mereka. 

Orang-orang itu pun melaksanakan bisikan setan tersebut, tetapi patung-patung mereka ketika itu belum disembah. 

Hingga orang-orang yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung tadi disembah.”[3] 

Hadits ini menunjukkan peringatan Nabi ﷺ  dari sikap ghuluw dan segala sarana yang membawa kepada kesyirikan, walaupun itu semua ditujukan untuk kebaikan. 

Karena sesungguhnya setan memasukkan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan sikap ghuluw terhadap orang-orang shalih, berlebihan dalam mencintai mereka, sebagaimana yang terjadi juga dalam ummat ini. 

Setan menampakkan kepada mereka bid’ah-bid’ah dan ghuluw dalam mengagungkan dan mencintai orang-orang shalih, agar mereka terjatuh pada perkara yang lebih besar dari itu, yaitu beribadah, berdoa, meminta tolong di saat sulit kepada orang-orang shalih tersebut dan menyekutukan Allâh Subhanahu wa Ta’ala. 

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu anha menceritakan kepada Rasûlullâh ﷺ tentang gereja dengan rupaka-rupaka yang ada di dalamnya yang dilihatnya di negeri Habsyah (Ethiopia). 

Maka beliau  ﷺ bersabda :

 أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ ، أَوِ الْعَبْدُ الصَّالِحُ ، بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ ، أُولَئِكِ شِرَارُ الْـخَلْقِ عِنْدَ اللهِ. 

“Mereka itu, apabila ada orang yang shalih atau seorang hamba yang shalih meninggal, mereka bangun di atas kuburnya sebuah tempat ibadah dan membuat di dalam tempat itu rupaka-rupaka. 

Mereka itulah sejelek-jelek makhluk di hadapan Allâh .”[4] 

Mereka itu membuat rupaka (patung) orang-orang terdahulu untuk mengikuti (mencontoh) mereka dengannya dan mengingat perbuatan-perbuatan shalih mereka agar dapat bersungguh-sungguh seperti kesungguhan mereka, serta beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla di sisi kubur-kubur mereka. 

Kemudian setelah mereka, hiduplah kaum yang bodoh (tidak tahu) apa tujuan mereka (membuat rupaka tersebut), akhirnya setan membisikkan kepada mereka bahwa orang-orang sebelum mereka menyembah rupaka-rupaka tersebut dan mengagungkannya. 

Maka Nabi ﷺ memperingatkan dari hal yang semacam itu untuk mencegah sarana yang dapat menyebabkan penyembahan kubur tersebut.[5] 

“Mereka itulah sejelek-jelek makhluk,” karena amalan mereka mengantarkan mereka kepada perbuatan kufur dan syirik.[6] 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata, “Maka mereka itu mengumpulkan dua fitnah sekaligus: fitnah memuja kuburan dengan membangun tempat di atasnya dan fitnah membuat rupaka-rupaka.”[7] 

Beliau rahimahullah juga berkata, “Sebab ini –yang karenanya Nabi ﷺ melarang untuk membangun masjid di atas kuburan- telah terjadi pada banyak umat, dalam syirik besar, ataupun dalam syirik yang lainnya. 

Karena sesungguhnya jiwa itu telah menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan rupaka-rupaka (patung-patung) orang shalih dan rupaka yang mereka sangka bahwa itu adalah jimat dan yang semacamnya. 

Melakukan syirik di kuburan orang shalih yang telah diyakini keshalihannya lebih diterima oleh jiwa daripada syirik dengan kayu atau batu. 

Karena inilah, engkau mendapati bahwa orang yang melakukan syirik mereka merendahkan diri, khusyu’ dan tunduk di sisinya, mereka juga beribadah dengan sepenuh hati mereka, yang ibadah tersebut tidak mereka lakukan di baitullah maupun di waktu sahur (sepertiga malam). 

Ada juga di antara mereka yang sujud kepada kuburan tersebut, dan kebanyakan dari mereka mengharap keberkahan shalat di sisinya dan berdoa dengan doa yang tidak mereka lakukan di masjid-masjid. 

Karena kerusakan inilah, Nabi ﷺ menghancur kan unsur tersebut, sampai melarang untuk shalat di kubur secara mutlak, walaupun orang yang shalat itu tidak bermaksud untuk mendapat berkah dengan shalatnya sebagaimana orang yang bermaksud mendapat keberkahan masjid dengan shalatnya itu. 

Seperti juga Nabi ﷺ melarang untuk shalat pada waktu terbit dan terbenamnya matahari, karena itu adalah waktu-waktu yang  ditujukan orang-orang musyrik untuk shalat kepada matahari. 

Maka Nabi ﷺ melarang umatnya dari shalat pada waktu tersebut walaupun dia tidak bermaksud seperti tujuannya orang musyrik, untuk mencegah sarana (yang dapat mengantarkan kepada perbuatan tersebut). 

Adapun jika seseorang shalat di sisi kubur dengan tujuan mendapat berkah dari shalatnya di tempat itu, maka ini termasuk menentang Allâh dan Rasul-Nya, menyelisihi agama-Nya, dan mengadakan perbuatan baru yang Allâh tidak mengizinkannya. 

Sesungguhnya kaum Muslimin telah sepakat atas apa-apa yang mereka ketahui dari agama Rasûlullâh  ﷺ, bahwasanya shalat di sisi kubur itu terlarang dan orang yang menjadikannya sebagai masjid terlaknat. 

Termasuk dari perkara baru yang paling besar dan merupakan penyebab syirik yaitu shalat di sisi kubur, mejadikannya sebagai masjid, dan membangun masjid di atasnya. 

Telah banyak hadits-hadits Nabi ﷺ yang melarang dari perbuatan tersebut dan keras terhadapnya. 

Semua golongan jelas-jelas melarang membangun masjid di atas kuburan, karena mereka mengikuti sunnah (Rasûlullâh ﷺ) yang shahih dan jelas.”[8] 

bersambung... 

https://almanhaj.or.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layu Sebelum Berkembang

Imam Malik Bin Anas

SEBANYAK 12 MALAIKAT BEREBUT MENCATAT KEBAIKAN KITA